BARISAN.CO – Pilihan Novia Widyasari mengakhiri hidup atas masalah yang dideritanya telah menyita perhatian Indonesia. Kamis 2 Desember 2021, di samping makam ayahnya, Novia menenggak red velvet yang dicampur sianida dan, tak berselang lama, orang-orang menemukannya hanya sebagai jasad.
Novia sempat melaporkan masalahnya kepada Komnas Perempuan. Di sana, ia mengaku telah mengalami kekerasan seksual yang berulang sejak tahun 2019, sejak pertama kali menjalin hubungan dengan Bripda Randy Bagus Hari Sasongko.
Novia terjebak dalam siklus kekerasan. Ia menjadi korban eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi oleh Randy.
“Korban berkali-kali menolak, namun berbagai cara pemaksaan dilakukan [pelaku] baik dengan meminta korban untuk meminum obat penggugur, memaksa seks di tempat yang tidak wajar, hingga dengan cara memasukkan obat ke kelamin korban,” sebagaimana keterangan resmi Komnas Perempuan, yang disampaikan dalam konferensi pers kemarin lalu (6/12/2021).
Komnas Perempuan menilai, kasus kematian Novia perlu dijadikan sinyal kuat bahwa ada keadaan darurat kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia.
Kasus Novia tergolong kekerasan dalam pacaran (dating violence), yang di Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak dari seluruh jenis kekerasan terhadap perempuan. Dari 8.234 kasus kekerasan yang ditangani Komnas Perempuan, dating violence mencatatkan 20 persen atau sejumlah 1.309 kasus.
Lebih buruk lagi adalah tidak semua korban berani melapor. Intimidasi, status sosial, ataupun relasi kuasa, acap kali menjadi penghalang utama korban yang pada akhirnya urung niat memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Dengan kata lain, angka riil dari kekerasan perempuan tentu jauh lebih besar, bahkan mungkin lebih besar dari yang pernah dibayangkan.
Sudah begitu, kalau toh ada korban yang berani melapor kepada institusi penegak hukum, rata-rata kasusnya berakhir pada kebuntuan.
Hal demikian sebab adanya hambatan seperti kriminalisasi balik terhadap korban, anggapan adanya ‘consent’ di antara kedua pihak, atau bahkan tuduhan bahwa laporan korban tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Komnas Perempuan berkesimpulan: “Pengesahan RUU TPKS menjadi kunci penting, mengingat bukan hanya untuk memutus impunitas dari pelaku, namun juga memberikan upaya penanganan yang berperspektif gender.”
Mendesak Sahkan RUU PKS
Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kini sedang berada di ruang tunggu Senayan. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengatakan RUU ini sudah masuk ke dalam program legislasi nasional prioritas 2022.
Publik berharap banyak pada RUU ini. Kasus Novia harusnya membuat DPR perlu bekerja keras agar RUU PKS dapat segera diketok palu dalam waktu tidak lama lagi. Tentu dengan catatan bahwa undang-undang yang lahir nantinya tidak melenceng dari semangat awal untuk menciptakan ruang-ruang sosial yang aman bagi perempuan.
Catatan di atas menjadi penting, sebab hari ini, publik mencium gelagat adanya niat DPR menyingkirkan poin-poin esensial yang sebelumnya tertulis dalam draf RUU PKS.
Dalam pembahasan terbaru, DPR misalnya hanya menyepakati lima jenis kekerasan seksual yang dapat dipidana, yaitu: pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan pidana lain.
Padahal, di dalam draft awal RUU ini masih ada jenis kekerasan lain, di antaranya: pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Selain terjadi penyempitan jumlah poin definisi, DPR juga cenderung menginginkan adanya perubahan paradigma RUU PKS, dari semula penanganan kekerasan menjadi sebatas pencegahan.