Scroll untuk baca artikel
Terkini

Mayoritas Gen Z Khawatir Kenaikan Harga Terjadi Akibat Resesi di Tanah Air

Redaksi
×

Mayoritas Gen Z Khawatir Kenaikan Harga Terjadi Akibat Resesi di Tanah Air

Sebarkan artikel ini

Dalam survei terbaru Jakpat x Continuum mengungkapkan, 75,6 persen Gen Z di Indonesia khawatir kenaikan harga akibat resesi yang diperkirakan terjadi tahun 2023 ini.

BARISAN.CO – Dalam survei terbaru Jakpat dan Continuum mengungkapkan, 40,2% Gen Z tahu tentang isu resesi tahun ini. Sebanyak 37,7% tahu namun kurang paham. Sedangkan 22,1% lainnya menyatakan tidak tahu sekali tentang isu tersebut.

Survei itu juga menemukan, 7 dari 10 Gen Z merasa khawatir akan terjadinya resesi di tanah air pada tahun 2023. Ada pun kekhawatiran itu berasal dari kenaikan harga (75,6%), gaji/pendapatan berkurang (70,9%), krisis energi (67%), susah mendapatkan pekerjaan (64,2%), kelangkaan bahan pokok (52,4%), dan PHK (49,5%).

Langkah yang dilakukan masyarakat dalam menanggapi isu ini adalah dengan menabung (51,4%), selamatkan aset (22,9%), tetap belanja (18,8%), berhemat (6,4%), dan tidak berutang (0,3%).

Meski kebanyakan orang merasa khawatir justru 23,19% responden merasa tidak perlu khawatir dengan resesi karena setiap hari hidup sudah sulit.

Sejak Revolusi Industri, sebagian besar ekonomi tumbuh dengan stabil dan kontraksi ekonomi merupakan pengecualian, meskipun resesi masih sering terjadi. Sementara, antara tahun 1960 dan 2007, terjadi 122 resesi yang memengaruhi 21 ekonomi maju sekitar 10% dari waktu, menurut Dana Moneter Internasional (IMF).

Dalam beberapa tahun terakhir, resesi menjadi lebih jarang dan tidak berlangsung lama.

Para ahli menyatakan, resesi ketika ekonomi suatu negara mengalami produk domestik bruto (PDB) negatif, meningkatnya tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan ukuran pendapatan dan manufaktur yang menyusut untuk jangka waktu yang lama.

Resesi dianggap sebagai bagian yang tak terhindarkan dari siklus bisnis—atau irama reguler ekspansi dan kontraksi yang terjadi dalam perekonomian suatu negara.

Pada tahun 1974, ekonom Julius Shiskin mengemukakan beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi, yaitu penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Perekonomian yang sehat berkembang dari waktu ke waktu, jadi dua perempat berturut-turut output yang berkontraksi menunjukkan adanya masalah mendasar yang serius, menurut Shiskin. Definisi resesi inilah yang kemudian menjadi standar umum selama bertahun-tahun.

Ada berbagai macam faktor penyebab terjadinya resesi, seperti guncangan ekonomi yang tiba-tiba, terlalu banyak inflasi, banyaknya deflasi, perubahan teknologi, dan lain-lain.

Dilansir dari The Guardian, baru-baru ini, Bank Dunia memperingatkan, setiap kemunduran baru pada ekonomi global yang telah melemah dengan cepat sebagai akibat dari inflasi yang tinggi, suku bunga, dan perang dapat mengakibatkan resesi kedua dalam tiga tahun pada tahun 2023.

Dari pemeriksaan kesehatan setengah tahunannya, lembaga yang berbasis di Washington itu mengatakan telah memangkas perkiraan pertumbuhan 2023 dari 2,9% menjadi 1,7% setelah risiko yang diidentifikasi enam bulan lalu.