Scroll untuk baca artikel
Opini

Media Harus Objektif, Ah Sudah Ketinggalan Zaman

Redaksi
×

Media Harus Objektif, Ah Sudah Ketinggalan Zaman

Sebarkan artikel ini

DALAM sambutan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2023 Presiden Jokowi mengingatkan pentingnya media massa objektif dalam pemberitaannya dan tidak tergelincir polarisasi menjelang tahun politik 2024.

Pesan Jokowi tersebut direpresentasikan sejumlah media arus utama di antaranya detik.com dengan judul “Jokowi: Media Harus Objektif dan Tak Tergelincir Polarisasi di Tahun Politik”.

Kemudian Viva.co.id menulis “Jokowi Minta Media Massa Tetap Objektif di Tahun Politik” kemudian Kompas.tv menulis “Pesan Jokowi ke Media Massa di Tahun Politik: Harus Tetap Objektif dan Tak Tergelincir Polarisasi”.

Pada hari yang sama kolumnis The New York Times Bret Stephens dalam tulisannya berjudul “How to Destroy (What’s Left of) the Mainstream Media’s Credibility” menyatakan bahwa pers arus utama dituntut untuk objektif adalah omong kosong.

Analisis Bret Stephens ini terkait dengan semakin menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada media arus utama yang semakin kecil. Hasil jajak pendapat Gallup disebutkan hanya 35 persen publik yang percaya kepada media massa arus utama. Bahkan kepercayaan publik kepada televisi lebih rendah lagi, hanya 11 persen.

Objektifitas diartikan bahwa berita yang disiarkan berdasarkan fakta, tanpa distorsi oleh keyakinan pribadi, tidak bias serta tidak melibatkan perasaan atau prasangka.

Tidak lupa juga jurnalis atau editornya harus memiliki disiplin pada akurasi, menjunjung nilai keadilan, nonpartisan, akuntabilitas dan memiliki prinsip pencarian kebenaran.

Secara tidak langsung Bret Stephens ingin menggarisbawahi bahwa menurunnya oplah media cetak, semakin sedikitnya penonton televisi dan sedikitnya pengunjung media daring karena publik beralih ke media sosial, jangan salahkan pihak lain itu karena kesalahan sendiri.

Justru dalam analisisnya, Bret Stephens, menemukan masalah utamanya yaitu media arus utama terbelenggu dengan konsep jurnalisme objektif.

Media besar sekelas The New York Times dan The Washington Post jelas memiliki idealisme dan mendukung demokrasi. Tetapi mereka juga entitas bisnis. Bret Stephens juga menyindir tentang tagline The Washington Post.

“Demokrasi bisa mati dalam kegelapan, seperti moto indah The Washington Post. Tapi The Post akan mati jika tidak bisa menjual langganan dan iklan atau bersandar pada kecerdikan dan kebesaran pemilik miliardernya,” tulisnya

Intinya, objektifitas itu bisa menyesatkan. Apalagi objektif dalam pers Barat itu juga bersifat rasis dan fobia.

Jadi, daripada berkutat dengan jargon objektif yang sudah usang. Justru media harus berpihak dan memberikan konten dengan beragam perspektif sehingga publik memiliki pilihan. Pers harus berpihak dan menjadi megafon atau pengeras suara bagi kelompok marginal, komunitas dan kelompok yang tidak memiliki akses ke media. Pers juga tidak hanya sekadar sebagai pelapor juga harus menjadi pendengar yang baik.

Media arus utama, tulis Bret Stephens sekarang telah mewujud menjadi pikiran, suara, dan lengan kiri politik.

Setelah menyimak tulisan Bret Stephens itu sampai tuntas, terus saya sandingkan dengan media arus utama di Indonesia ternyata sama saja masalahnya.

Jadi, janganlah mengeluh. Masih ada waktu untuk mengevaluasi diri. [rif]