“Instrumen pembentuk mitos itu sama dengan sains. Semua folklore dihasilkan oleh ilmuwan masa lalu,” tuturnya dalam sebuah webinar LIPI bertema ‘Kajian Multidisiplin dalam Pengurangan Bencana’.
Eko Yulianto percaya bencana adalah siklus yang berulang. Dan tsunami bukan hal yang baru terjadi 2004. Dahulu, orang juga mengalami dan melihat hal yang sama. Gempa terjadi. Air laut naik. Akan tetapi menurut Eko, karena dikemas dalam kepercayaan yang berlaku pada saat itu, maka jadilah misalnya, orang Jawa membuat mitos tentang Ratu Kidul, orang Mandar mengenal cerita tentang Lembong Talu, dan sebagainya.
Salah satu kisah yang diungkit Eko, seperti dicatat oleh Harian Kompas (22/10/2020) adalah legenda Nyi Roro Kidul dalam Serat Srinata dari Babad Tanah Jawi. Dalam beberapa petikan dari tulisan kuno tersebut terdapat beberapa ciri tsunami, seperti toya minggah ngawiyat (air naik ke angkasa) dan apan kadya amor mina toyanipun (bahkan, airnya bercampur dengan ikan).
Kita jelas perlu mencari tahu, kenapa pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat ini, seolah samasekali tidak terhubung dengan pengetahuan modern yang kita pelajari.
Barangkali, terputusnya pengetahuan tentang bencana di masa lalu ini ialah oleh-oleh dari buruknya budaya baca kita. Termasuk juga akibat kurang dihargainya kearifan lokal yang, ironisnya, banyak menunjukkan kebenaran ajarannya sekeras apapun itu berusaha disanggah oleh keilmuan modern. [Dmr]