BARISAN.CO – Sebelum tradisi tulis-menulis dipopulerkan penggunaannya di masa kolonial, masyarakat nusantara punya kekuatan tradisi lisan yang tak terbantahkan. Itu ditandai banyaknya dongeng atau cerita rakyat atau mitos (Inggris: folklore) yang ada di setiap daerah, yang bahkan sayup-sayup masih kita dengar hingga sekarang.
Dikatakan sayup-sayup, karena apa yang dahulu sempat kuat menjadi sistem nilai dalam masyarakat itu keberadaannya pelahan mulai hilang.
Agus PM Toh, pendongeng dari Aceh, misalnya pernah mengatakan bahwa masyarakat Kota Palu hari ini tidak lagi mengerti kearifan dongeng lokal mereka. Padahal, di sana dulu berkembang pengetahuan geologi yang bermanfaat, yakni tentang bombatalu (artinya pukulan gelombang laut tiga kali), dan nalodo (artinya lenyap ditelan lumpur), yang diajarkan lewat dongeng-dongeng.
“Kalau kembali melihat sistem adat lokal di Palu, sudah ada pengetahuan tentang gempa, likuifaksi, dan tsunami sehingga penduduk lokal yang memegang teguh adat tidak tinggal di daerah rawan bencana. Pendatang dan pengembang tidak punya pengetahuan itu, maka mereka menempati lahan rawan itu,” kata PM Toh dalam satu wawancara.
Bicara soal pengetahuan gempa dan tsunami, ada banyak istilah lokal terekam dalam dongeng yang diceritakan turun-temurun. Beberapa di antaranya:
- Ie Beuna, Banda Aceh, Aceh
- Smong, Pulau Simeulue, Aceh
- Galoro/Geloro, Singkil, Aceh
- Air Turun Naik, Ambon
- Bombatalu, Palu
- Lembong Talu, Mandar, Sulawesi Barat
- Gergasi dari Laut, Barus, Sumatera Utara
- Ae Mesinnuka Tanalala, Ende
- Ratu Kidul, Jawa
Tampak bahwa sebetulnya, masyarakat kita telah memiliki pengetahuan kebencanaan sejak lama. Dan dari daftar di atas, cerita dongeng tentang Smong, yang berkembang di Pulau Simeulue, Aceh, sangat menarik untuk dijadikan pelajaran.
Pada saat Aceh dilanda gempa 9,1 sr dan setengah jam kemudian disusul tsunami, 26 Desember 2004, ada 150.000 jiwa meninggal. Tapi, di sebuah pulau bagian barat Aceh, Pulau Simeulue, yang notabene lebih dekat pusat gempa (dan tsunami di sana datang lebih cepat: 10 menit), hanya ada 3 orang yang meninggal.
Ribuan rumah di Pulau Simeulue hancur, tetapi hanya 3 meninggal. Bagaimana bisa? Orang-orang Simeulue tahu ketika air laut surut setelah gempa, maka tak lama kemudian air akan kembali dengan intensitas lebih banyak. Pengetahuan ini mereka dapat dari dongeng-dongeng tentang Smong yang diceritakan kakek dan nenek mereka, dan dongeng tersebut menyelamatkan banyak nyawa saat itu.
Dalam hal ini, keberadaan dongeng menjadi bukti bahwa mitigasi bencana telah inheren dalam sistem nilai masyarakat kita.
Literatur Lisan & Tulisan
Usaha pencarian kearifan dongeng lebih jauh juga dilakukan oleh Eko Yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia meneliti banyak cerita rakyat dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, untuk melacak bencana geologi yang terjadi di masa lalu.
“Instrumen pembentuk mitos itu sama dengan sains. Semua folklore dihasilkan oleh ilmuwan masa lalu,” tuturnya dalam sebuah webinar LIPI bertema ‘Kajian Multidisiplin dalam Pengurangan Bencana’.
Eko Yulianto percaya bencana adalah siklus yang berulang. Dan tsunami bukan hal yang baru terjadi 2004. Dahulu, orang juga mengalami dan melihat hal yang sama. Gempa terjadi. Air laut naik. Akan tetapi menurut Eko, karena dikemas dalam kepercayaan yang berlaku pada saat itu, maka jadilah misalnya, orang Jawa membuat mitos tentang Ratu Kidul, orang Mandar mengenal cerita tentang Lembong Talu, dan sebagainya.
Salah satu kisah yang diungkit Eko, seperti dicatat oleh Harian Kompas (22/10/2020) adalah legenda Nyi Roro Kidul dalam Serat Srinata dari Babad Tanah Jawi. Dalam beberapa petikan dari tulisan kuno tersebut terdapat beberapa ciri tsunami, seperti toya minggah ngawiyat (air naik ke angkasa) dan apan kadya amor mina toyanipun (bahkan, airnya bercampur dengan ikan).