Scroll untuk baca artikel
Blog

Agus ‘PM Toh’ Masih Bertutur Hikayat

Redaksi
×

Agus ‘PM Toh’ Masih Bertutur Hikayat

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Di tanah kelahirannya, Sabang, Aceh, Agus Nur Amal sering pergi ke hajatan-hajatan untuk menonton pertunjukan hikayat. Siapa Agus ini? Dalam dunia penutur dongeng, ia lebih akrab disapa lewat julukan panggung yang unik: PM Toh.

PM Toh dikenal, mula-mula, karena ia banyak menggelar pertunjukan dongeng di kamp-kamp pengungsian tsunami Aceh, 2004. Pertunjukannya tidak megah, hanya bermodal kardus bekas yang dibentuk seolah-olah televisi, di mana ia kemudian mendongeng dari dalam televisi itu.

Meski begitu, sebagai sarana trauma healing, apa yang ia lakukan berdampak luar biasa bagi candra jiwa para penyintas tsunami, terutama anak-anak.

Namanya mulai tertangkap radar percakapan publik luas ketika ia muncul di sebuah iklan televisi sekitar tahun 2005. Kemunculan PM Toh itu sangat ikonik. Dalam iklan durasi semenit itu, tampak PM Toh sedang bercerita di hadapan sejumlah anak tentang sebuah kisah negeri Ujung Karang yang sering ditimpa gempa.

Cara ia menyampaikan cerita, disertai mimik muka yang karikatural, membuat penampilan PM Toh mudah diingat penonton.

Namun sebetulnya eksistensi si tukang dongeng dari Aceh ini tidak dimulai begitu saja dari situ. Jejak keseniannya telah terbangun lama, sejak ia masih sekolah dasar. PM Toh juga pernah berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dari tahun 1988.

Pada awal 1990-an, ia memutuskan kembali ke kampung. Bukan tanpa alasan. Pada masa itu ia menyadari bahwa di Aceh, seni berhikayat telah pelahan-lahan ditelan zaman, dan ia berniat untuk melestarikannya. Sejak itulah, PM Toh bergerilya melakukan pentas dari kampung satu ke kampung lain.

“Saya memenuhi panggilan pentas, dari kawinan sampai acara pemerintah,” ujarnya di satu wawancara. Bila tak ada pentas, PM Toh ikut mengurus kebun milik Adnan, gurunya menutur hikayat.

Di bawah bimbingan Adnan, PM Toh terus berlatih dan mengasah kemampuannya untuk menjadi seorang penutur hikayat yang baik. “Kadang, saya disuruh bercerita di bawah pohon kelapa atau bicara dengan batu,” kata PM Toh, mengenang prosesnya berlatih. “Bahkan, pernah disuruh cerita semalam suntuk dengan sabut kelapa.”

Kebebasan berimajinasi

Dalam setiap pertunjukannya, PM Toh melengkapi diri dengan alat-alat sederhana seperti gayung, serbet, koran, semprotan, dan perkakas domestik lain. Mungkin tak pernah terpikir bagi orang biasa untuk memberi makna kepada gayung bukan sebagaimana fungsinya. Akan tetapi di hadapan PM Toh, perkakas-perkakas itu bisa tampil menjadi benda imajinatif. Gayung bisa menceritakan kedatangan helikopter, serbet menjadi ombak laut, semprotan menjadi satelit angkasa, dan sikat wc menjadi bunga yang ditanam seorang anak bernama Leonard.

Ya, pertujukan PM Toh memang hanya memakai properti sederhana, imajinasi lah yang membuatnya istimewa dan luar biasa.

Di satu wawancara, PM Toh mengatakan bahwa pertunjukannya berkeinginan untuk merangsang imajinasi aktif penonton meski lewat benda-benda seadanya. Dalam artian, ia ingin memberi ruang bagi imajinasi untuk bisa menjembatani jarak antara hikayat dengan kenyataan.

Berbeda dengan film, kartun, atau gim misalnya, yang memakai imajinasi pasif. Di mana, ada semacam prinsip truisme agar benda-benda dibentuk dan dimaknai seasli-aslinya, sehingga gayung adalah gayung dan helikopter adalah helikopter. Di sini gayung tidak bisa disebut helikopter seperti PM Toh bisa lakukan.

PM Toh masih terus menutur hikayat sampai detik ini. Belakangan ia tampil di sejumlah iklan layanan pencegahan Covid-19. Masih sama seperti dulu: sederhana, seadanya, imajinatif.

“Kawan-kawan semua di seluruh nusantara. Kita sekarang ngomong soal virus Corona” Sapa PM Toh saat muncul dari sebuah televisi kardus, sambil membawa kresek lecek berwarna merah di tangan kanan. “Ini virus saya pegang di tangan, nanti pindah ke tangan yang satu, lalu nempel ke badan yang lainnya, menyebar ke sana, menempel ke sini!”