Mulai Juli mendatang, Norwegia mewajibkan influencer dan pengiklan di media sosial memberikan label foto yang telah diedit guna memerangi efek berbahaya dari standar kecantikan yang tidak realistis
BARISAN.CO – Istilah Fear of Missing Out (FOMO) pertama kali populer pada tahun 2004 di The Harbus, majalah Harvard Business School, yang dicetuskan oleh penulis Patrick J. McGinnis. Dalam buku yang ditulisnya, Patrick menjabarkan makna FOMO, yaitu: 1) rasa cemas yang tidak diinginkan yang timbul karena persepsi terhadap pengalaman orang lain yang lebih memuaskan ketimbang diri sendiri, biasanya melalui terpaan dari media sosial, dan 2) tekanan sosial yang datang dari perasaan akan tertinggal suatu peristiwa atau tersisih dari pengalaman kolektif yang positif atau berkesan.
FOMO sering kali berasal dari ketidakbahagiaan. Melalui media sosial, semua orang di selurih dunia terhubung selam 24/7. Kita tentu mengetahui, dampak negatif media sosial ialah berpengaruh buruk bagi kesehatan mental.
Media sosial bukan hanya meningkatkan rasa cemas dan kesepian, namun juga FOMO. Fear of Missing Out dikaitkan dengan penggunaan media sosial yang intensif dan suasana hati serta kepuasaan hidup yang lebih rendah. Dari sisi lain, platform online juga berpotensi merusak kesehatan mental dengan mempromosikan ekspektasi yang tidak masuk akal.
Selain itu, media sosial dihubungkan dengan harga diri dan citra diri yang buruk melalui manipulasi gambar pada platform berbagi foto. Khususnya, gagasan tentang citra tubuh ideal yang dianggap bisa merusak harga diri dan citra, terutama kaum muda. Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan, 90 persen perempuan mengedit fotonya sebelum diunggah atau menggunakan filter.
Dengan fitur edit seperti Photoshop dan Facetune, semua orang bisa tampak tampil sempurna. Dalam upaya memerangi efek berbahaya dari standar kecantikan yang tidak realistis, Norwegia mengesahkan peraturan agar influencer dan pengiklan di media sosial melapirkan label pada foto yang diubah. Bagi yang melanggar akan dikenakan denda.
Peraturan yang disahkan sebagai amandemen Undang-Undang Kontrol Pemasaran itu, dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran di antara orang-orang bahwa tubuh yang sempurna dalam iklan tidak menunjukkan kepada orang-orang seperti yang terlihat di kehidupan nyata.
Mengutip The Washington Post, Kementerian Anak dan Keluarga Norwegia menyebut, aturan label foto itu akan mulai berlaku pada Juli tahun ini mencakup pada gambar yang dibagikan oleh pemengaruh media sosial dan tokoh masyarakat lainnya saat memposting foto editannya saat mengiklankan produk atau layanan.
“Tujuan kami agar anak-anak dan remaja tumbuh tanpa mengalami tekanan untuk mengubah tubuhnya,” kata Reid Ivar Bjorland Dahl, sekretaris negara di Kementerian Anak dan Keluarga.