GADUH. Kesan kali pertama menyaksikan performa Kiai Kanjeng di panggung, tahun 1997. Namun lambat laun, berulang kali berkesempatan melihat Kiai Kanjeng bersama Cak Nun tampil di halaman parkir Masjid Baiturrahman Semarang, gaduh mereka itu mengasyikkan. Saya menyukai sajian musik Kiai Kanjeng yang kelewat gaduh itu. Ada kegembiraan yang meluap ketika kegaduhan Kiai Kanjeng beroperasi. Kegaduhan yang mengungkapkan energi penyaluran semangat perjuangan. Yang meneriakkan napas perang terhadap kesunyian.
Kiai Kanjeng sendiri merupakan nama kelompok pemusik yang dibidani dan untuk mendukung aktivitas sosial Emha Ainun Nadjib. Dan, yang unik dari kelompok ini, tidak pernah membatasi diri pada aliran musik tertentu. Mereka sering memadu beragam cengkok jenis kesenian tradisional Jawa, Sunda, Melayu dengan nomor-nomor musik jazz, pop, rock, dan dangdut. Pernah juga mengaransemen lagu-lagu Timur Tengah.
Ritual gaduh Kiai Kanjeng, menawarkan kebalikan setiap kampanye pesta politik, terutama kampanye pilpres 2014 dan 2019. Gempita dua kampanye itu, silang sengkarut fitnah dan saling olok hadir dalam intensitas tinggi dan nyaris tak terkendali. Terus terang saya menyukai kondisi demikian: masyarakat berjingkrak-jingkrak bebas, euforia menuang gagasan dan pendapat. Tampak ada keliaran interpretasi dan perayaan alternatif di situ, yang melibatkan segenap kalangan. Mereka bertengkar, menang-menangan, dan adu kekuatan koalisi.
Euforia yang nyaris liar tanpa tali kekang itu dan merembet hingga kini, persis kejadian 23 tahun silam, 1998, yang sukses menggulung Orde Baru dan mengantar republik ini memasuki era reformasi. Rakyat berjingkrak bahagia. Rakyat bersujud syukur meraup kebebasan. Hingga berujung kekisruhan yang melindas kelompok minoritas. Sungguh, akhirnya sebuah gaduh yang benar-benar sayang lepas kendali. Minim Kelola dari institusi apa pun.
Nah, Kiai Kanjeng serasa hadir menawarkan kegaduhan yang terkelola, sehingga enak dinikmati, dan aman dikonsumsi. Mereka bikin gaduh, tapi terencana, terukur, dan pasti ada target capaian yang ingin didapat. Sedang gaduh yang para wakil rakyat tawarkan, cenderung membosankan. Gaduh para anggota dewan yang terhormat itu nyaris tanpa aturan main. Gaduh yang menerbitkan perasaan khawatir tak berpengharapan masa depan.
Memang, selaku kaum pinggiran, saya tetap berusaha memupuk harapan bahwa euforia politik itu bakal berlangsung sesaat saja. Saya coba meyakinkan diri betapa masyarakat dari beragam level sosial itu sudah lama merindukan adanya penyaluran bebas. Saya mafhum, kita, selama tiga dasawarsa kehilangan pilihan mengungkapkan energi kegaduhan. Kehilangan pilihan untuk mengemukakan gerundelan kesumpekan, karena tawaran yang muncul –pinjam istilah dari kolega Taman Baca—hanya 4 L, “Lu Lagi Lu Lagi”.
Singkat kalimat, tentu saja saya kepingin sebuah kehidupan yang nyaman, aman, nan harmoni. Yang tiada curang, tiada main kayu. Dan, saya berusaha turut serta menyumbang sangka positif. Bahwa kegaduhan yang minim kelola, bukan berarti kematian demokrasi. Bahwa kita semua, sedang dalam ranah berlomba mendidik diri. Belajar menghayati betapa melempar tuduhan itu mudah.
Betapa melempar fitnah dan ghibah itu tidak sulit. Betapa berlapang dada dengan beragam fitnah itu butuh perjuangan yang menguras energi luar biasa. Betapa mendewasa tak semudah membalik telapak tangan. Betapa berlegawa dengan perbedaan itu tak semudah untaian moral yang kerap dikhotbahkan di masjid, gereja dan bengkel nurani yang seabrek.
Dan, betapa akhirnya “perbedaan pendapat itu sebagai rahmat” tak lebih pepesan kosong. Hanya indah di atas teks yang dipidatokan, tapi terlampau jauh dari kenyataan. Bahwa di sana sini, pertengkaran dan perusakan tempat ibadah, tuduhan kafir kepada minoritas, dan fatwa haram terhadap pelbagai kontroversi, masih menjamur di tengah keberagaman.