Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Membudayakan Pancasila

Redaksi
×

Membudayakan Pancasila

Sebarkan artikel ini

Kedua, di tingkat perguruan tinggi, orientasi pendidikan sebagai pilar dalam mendukung pembangunan nasional. Sehingga kurikulum diarahkan ke sana. Ketiga, untuk pendidikan dasar, cukup dengan pemenuhan kebutuhan dasar pengembangan keutuhan kemanusiaan. Bahwa pendidikan adalah proses belajar memanusiawikan manusia tatkala pikir, rasa, karsa, dan raga, berkembang.

Sehingga, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, menulis.

Budaya baca itu penting, mengingat terpaan media digital yang kian darurat, yang mendangkalkan, serba ringkas, dan instan. Sehingga, sekolah harus menyediakan bahan-bahan bacaan bermutu sastrawi, dan siswa bebas membaca atas pilihannya sendiri. Kemudian, siswa dilatih untuk menuturkan apa yang ditangkap dari bacaan.

Jadwal pelajaran membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran menulis ini menjadi subjek pelajaran tersendiri, yang tidak sekadar diletakkan atau jadi bagian dari pelajaran bahasa, tetapi terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.

Selain itu belajar menghitung dasar: penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Itu saja, tidak lebih. Pelajaran matematika resminya mulai dikenalkan pasca-SD. 

Kurikulum pendidikan dasar harus menyediakan wahana olah rasa untuk mengasah solidaritas, ketajaman rasa keadilan, kepekaan estetik, dan kehalusan perasaan.

Oleh karenanya, selain materi olah pikir—membaca, menulis, menghitung, dan menutur—perlu diberikan pelajaran kesenian, kesejarahan, kepahlawanan, moral keagamaan, budi pekerti (karakter personal), dan pendidikan kewargaan (karakter bangsa).

Kurikulum juga merambah wahana olah raga guna mengembangkan ketahanan, ketangkasan, dan kesehatan jasmani. Serta, kurikulum harus menumbuhkan olah karsa, yakni kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas inovatif dan kecakapan hidup dengan mengenali dan mengaktualisasi potensi kecerdasan masing-masing anak, berdasar multiple intelligences.

Dengan demikian, Yudi Latif hendak meneguhkan haluan pendidikan sebagaimana yang diangankan dan direalisasikan Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar mendirikan Taman Siwa sebagai perpaduan sistem persekolahan modern ala Belanda dan konsep pesantren-madrasah yang dikembangkan para inteligensia muslim.

Kemudian Yudi meringkasnya sebagai pendidikan yang berkebudayaan. Bahwa pendidikan sedianya menuntun kodrat-kodrat bawaan dengan mengaktifkan budi-pekerti. “Budi” mengandung arti “pikiran, perasaan, dan kemauan”; “pekerti” artinya “daya”.

Sehingga, “budi-pekerti” sama dengan “budi-daya” (ditulis “budaya”). Dengan begitu, pendidikan budi pekerti adalah pendidikan berkebudayaan yang mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad-kemauan yang melahirkan penciptaan dan perbuatan yang benar, baik, dan indah.