MESKIPUN tidak spektakuler, namun cukup menimbulkan banyak teka-teki, terkait masuknya Ridwan Kamil (RK) atau lazim disapa Kang Emil ke Golkar pekan lalu di tahun penuh ketidakpastian pencapresan. Khususnya bagi Golkar, dalam hal ini Ketumnya, Airlangga Hartanto (AH) yang masih jauh dari batas ‘optimisme’ elektabilitas agar Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) mencapreskannya memunculkan beberapa catatan. Namun demikian, memang hasil survey bukan acuan utama bagi penentuan pencapresan.
Momen RK langsung diberi karpet merah menjadi Waketum Golkar, tentu ini sebuah kejutan bagi publik, namun juga bisa jadi tanpa sadar menimbulkan ketidaknyamanan internal Golkar. Terkait kaderisasi dan slogan ‘sakral’ Golkar yakni PDLT.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena ada contoh terbaru adalah adegan loncat indah abang Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi, mantan Gubernur NTB 2 periode, yang berlabuh di parpol lain, padahal baru diberikan jabatan tinggi di Golkar belum genap 2 tahun.
Ini memang hak setiap orang untuk masuk keluar partai. Tidak dilarang berbuat seperti bang TGB dan tokoh lainnya. Seperti ada kekhawatiran, suara yang penuh tanda tanya, dan bergumam, “Mestinya biarkan RK masuk Golkar tanpa karpet merah dan jabatan Waketum karena di tahun -tahun belakangan ini kader militan Golkar dari DPP sampai DPD sudah berjibaku memperjuangkan bendera Golkar agar makin berkibar dan menaikan elektabilitas figur Ketumnya untuk pencapresan 2024”.
Kalaupun itu hanya sebatas seremoni penerimaan karena RK adalah tokoh birokrat dan Gubernur Jabar, ya itu sah-sah saja. Tetapi, tidak langsung diberi jabatan Waketum. Ini pun tidak salah karena elit Golkar sudah mempertimbangkan ketokohannya RK dengan jabatan yang langsung disematkan kepadanya di detik ketika RK diumumkan menjadi kader Golkar. Lumayan tidak lazim, tapi inilah politik.
Namun, apakah RK nanti membawa kenaikan elektabilitas bagi pencapresan Ketum AH, dan menambah kantong suara Golkar? itu seperti jauh pangggang dari api dan akan kita saksikan di beberapa bulan yang akan datang.
Bisa saja RK sangat yakin dengan keberhasilannya menjadi Walkot Bandung dan Gubernur Jabar. Ini pula yang membuat Golkar menaruh harapan besar di punggung beliau. Namun ketokohan RK sebagai Gubernur Jabar tidak serta merta paralel akan mendongkrak elektabilitas Ketum Golkar dan menambah kantong suara Golkar. Bahkan, muncul celetukan dikhawatirkan bahwa justru nanti elektabilitas RK-lah yang terus menanjak dan bisa saja menjauhi ketumnya sendiri.
Apakah para elite Golkar tidak berprediksi seperti ini? Jika ini terjadi maka masuknya RK tidak berdampak signifikan bagi Ketum Golkar. Namun, dari perspektif positif, masuknya RK justru akan meramaikan bintang baru di panggung politik elit Golkar.
Ada alternatif jika terjadi kebuntuan mencari tokoh internal Golkar untuk disandingkan dalam suksesi kepemimpinan nasional kelak. Lebih mulia lagi adalah sikap negarawan Ketum AH yang menerima dengan lapang dada RK, meskipun dari kalkulasi riil politik, RK adalah kompetitor Ketum Golkar.
Tapi, mari kita menatap sejenak riak politik di tahun 2023 yang sangat dilematis bagi parpol dan pimpinannya. Kalau mengamati latarbelakang RK yang berpikir sangat pragmatis, ini adalah kekhasan sebagai insinyiur dan teknokrat birokrat pada umumnya. Karena itulah mengapa RK baru mau masuk parpol bernama Golkar. Pragmatis karena memang persis di tahun politik yang sedang menimang capres dan cawapres. Bagi RK, walikota dan gubernur sudah diarungi, kenapa tidak yang lebih tinggi lagi? Minimal menjadi menteri di 2024.