Di pasar tradisional ketika diajak berbelanja, hampir semua anak saya terus bertanya dan menunjuk barang-barang yang semula tidak ketahuinya. Mereka juga bertanya mengapa pasarnya becek dan bau. Mereka tampaknya membandingkan dengan mini market yang kadang kami kunjungi.
Abahnya terbilang sering membawa anak-anak ke stasiun kereta api atau ke daerah dekat stasiun. Adli dan Akram sangat senang melihat kereta api, dan seolah tak pernah bosan. Kadang abahnya membawa mereka naik kereta api sampai Solo, yang berjarak sekitar 60an kilometer dari Yogya. Istirahat dan main sebentar di stasiun Solo, kemudian kembali lagi.
Sekalipun sadar tentang perhatian anak-anak pada banyak hal yang membuat mereka bertanya nyaris tanpa henti, saya sempat tidak menyangka pengamatannya kadang pada hal yang sangat detail. Saya pun terdorong untuk terus belajar dan menyiapkan diri, terutama dengan membaca buku-buku dan majalah.
Pada suatu hari, abahnya membelikan peta dunia dan menempelkannya di dinding. Akram yang belum pernah melihat, bertanya “Apa itu?” Ketika dijawab, “Peta Dunia” pertanyaan terus berlanjut. “Ini gambar apa?” Dijelaskan perlahan tentang nama-nama benua, lautan dan lain sebagainya.
Akram tertarik dengan perbedaan warna pada peta tersebut. Dia berulang kali menunjuk serta terus bertanya. Kebetulan yang sering ditunjuknya benua Afrika. Oleh karena gambar dan tulisan di peta tampak terlalu kecil, saya mengambilkan buku ATLAS. Saya bukakan halaman yang berisi peta Afrika, dan menjelaskan sesuai keterangannya.
“Warna hijau menunjukkan dataran rendah, sedang warna kuning merupakan dataran tinggi. Makin tinggi dekat gunung, warnanya menjadi coklat,” antara lain saya katakan.
Dapat diduga dia akan bertanya tentang warna biru. Dijelaskan bahwa itu laut, ditambah tentang biru tua artinya laut yang lebih dalam dibanding yang biru muda.
Oleh karena sudah mengalami dengan kakak-kakaknya, saya sudah menduga berbagai pertanyaan lanjutan dan cukup siap melayani pertanyaan Akram. Dia masih asyik memperhatikan benua Afrika, lalu berkata, “Ada garis-garis, Mi” katanya. “Garis-garis yang putus-putus merupakan batas negara,” sahut saya.
Tampak Akram mengalihkan perhatiannya pada benua Australia, sambil menunjuk “Angka di atas nggak sama dengan angka bawah, Mi?”.
Ternyata dia menunjuk angka yang tertera di garis bujur benua Australia bagian utara dan bagian selatan. Saya bilang, “Sama kok, angkanya 120 derajat bujur timur.”
Dia bersikeras mengatakan tidak sama, sambil menarik garis di angka tersebut dari atas ke bawah. Ternyata yang dimaksud adalah tidak lurus, melainkan agak miring.
Saya kesulitan menjelaskan disebabkan bumi berbentuk bulat pepat maka garis bujurnya tampak melengkung di peta atau buku atlas. Ira yang sudah kelas 6 SD mencoba membantu menjelaskan, namun masih sulit ditangkap anak seusia Akram.
Saya pun minta maaf dan berjanji akan menjelaskan jika sudah ada alatnya. Suami saya kemudian membelikan Globe, meski hanya berukuran kecil. Dengan alat peraga itu, bentuk bumi tampil bulat dan soal garis bujur cukup bisa dijelaskan. [dmr]