Sifat pembawaan beliau dari kecil yang lain dari yang lain diantaranya adalah beliau tidak pernah bermimpi basah (ihtilam).
Pendidikan
Nama kecilnya adalah Qusyairi. Sedari belia, Qusyairi selalu berada di samping kedua orang tua dan nenek beliau yang bernama Salbiah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan berdisiplin dalam pendidikan agama.
Guru Sekumpul saat berusia 7 tahun mengikuti pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura.
Pada masa ini ia sudah belajar dengan guru-guru besar yang spesialis dalam bidang keilmuan seperti, al-Alim al-Fadhil Sya’rani Arif, al-Alim al-Fadhil Husain Qadri al-Alim al-Fadhil Salim Ma’ruf, al-Alim al-Allamah Syaikh Seman Mulia, al-Alim Syaikh Salman Jalil, al-Alim al-Fadhil al-Hafizh Syaikh Nashrun Thahir KH. Aini Kandangan.
Tiga yang terakhir merupakan gurunya yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.
Di luar pendidikan formal, selain nenek dan ayahnya, Abah Guru Sekumpul juga mendapat didikan dari pamannya, Syekh Seman Mulia.
Pamannya mendidik baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Guru Seman pula yang mengajak Abah Guru Sekumpul mendatangi tokoh Islam terkenal di bidangnya baik di Kalimantan Selatan maupun di Jawa.
Salah satu contohnya, Guru Seman mengajak Abah Guru Sekumpul belajar kepada al-Alim al-Allamah Syaikh Anang Sya’rani, yang terkenal dalam bidang hadis dan tafsir.
Dalam perjalanannya, Abah Guru Sekumpul menyadari bahwa pamannya adalah seorang ahli di hampir semua bidang keilmuan Islam, tetapi tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Sifat itulah yang ditiru Abah Guru Sekumpul, hingga dikenal sebagai pribadi yang mulia, penyabar, rida, pemurah, dan penyayang terhadap siapa saja.
Perjalanan Dakwah
Setelah melanglang buana belajar agama dan pendidikan lainnya, Abah Guru Sekumpul mendapat mandat untuk mengajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura.
Atas rekomendasi dari K.H. Abdul Qadir Hasan, K.H. Sya’rani Arif, dan K.H. Salim Ma’ruf, ia menjadi pengajar di pondok pesantren tersebut.
Lima tahun kemudian, Abah Guru Sekumpul berhenti dan memilih melakukan kegiatan dakwah dengan membuka pengajian di rumahnya di Keraton Martapura.
Awalnya, pengajian ini diadakan hanya untuk menunjang pelajaran para santri di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, dengan diisi pengulangan kitab-kitab Ilmu Alat, seperti Nahwu dan Saraf.
Namun, pada perkembangannya, jemaah yang menghadiri pengajiannya cukup beragam, bukan hanya dari kalangan santri, tetapi juga masyarakat umum. Pengajian pun mulai berkembang dengan kitab yang lebih bervariasi, mulai dari kitab-kitab fikih, tasawuf, tafsir, dan hadis.


