Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Mengenal Skema Extended Producer Responbility

Redaksi
×

Mengenal Skema Extended Producer Responbility

Sebarkan artikel ini

Sejarah Extended Producer Responbility dikaitkan dengan Thomas Lindhqvist dari Swedia pada tahun 1990 yang memperkenalkan gagasan tanggung jawab produsen atas produk mereka kepada Kementerian Lingkungan Hidup Swedia.

BARISAN.CO – Industri besar atau kecil harus bertanggung jawab sepanjang waku agar dapat meningkatkan kinerja dan profitabilitas. Selain meraup keuntungan berupa materi, industri juga harus mengutamakan kepuasan konsumen dan kesejahteraan masyarakat dalam menjalankan bisnis.

Bisnis yang sadar lingkungan akan menjadi berkelanjutan karena berkontribusi bagi masyarakat luas. Ini juga akan membantu bisnis lebih berkembang.

Di Swedia, produsen memiliki kepemilikan materi, infrastruktur, dan pembiayaan dari skema extended producer responbility (EPR) yang menempatkan industri bertanggung jawab dalam pengelolaan produk limbah yang tepat di akhir masa pakai produknya masing-masing.

Sejarah EPR dikaitkan dengan Thomas Lindhqvist dari Swedia pada tahun 1990 yang memperkenalkan gagasan tanggung jawab produsen atas produk mereka kepada Kementerian Lingkungan Hidup Swedia.

Thomas meneliti bagaimana sistem daur ulang dan pengelolaan limbah mengarah pada kebijakan untuk serius mempromosikan produksi yang lebih bersih. Dalam laporannya di tahun 1992, Thomas memperluas definisi EPR;

“Extended Producer Responbility adalah strategi perlindungan lingkungan untuk mencapai tujuan lingkungan dari penurunan dampak lingkungan total dari suatu produk dengan membuat produsen bertanggung jawab atas seluruh diklus hidup produk dan terutama untuk pengambilan kembali, daur ulang, dan pembuangan akhir produk. EPR dijalankan melalui instrumen administratif, ekonomi, dan informatif. Komposisi instrumen itu menentukan bentuk yang tepat dari Tanggung Jawab Produsen yang DIperpanjang”.

Meski akademisi Swedia yang pertama kali memperkenalkannya, Jerman justru menjadi contoh pertama EPR pertama di Eropa pada tahun 1991. Industri Jerman membuat double system berupa pengumpulan sampah, lalu mengambil kemasan rumah tangga di samping pengumpulan sampah kota.

Barulah, Parlemen Swedia di tahun 1993 memulai pendekatan kerangka EPR yang menegaskan produsen bertanggung jawab untuk membayar kerusakan yang disebabkan oleh produknya. Tujuan EPR ini, mengalihkan tanggung jawab limbah dari kota ke produsen dan memberikan insentif kepada mereka untuk memasukkan pertimbangan lingkungan dalam desain produknya.

Limbah kemasan dan kertas koran adalah kelompok produk pertama yang tercakup dalam EPR. Tujuannya agar membebaskan kotamadya dari tanggung jawab dan biaya pengumpulan serta pengolahan limbah. Selain itu, untuk mengurangi dampak lingkungan dari produk itu. Awal tahun 90-an, gagasan tentang ekonomi sirkular dipandang sebagai sumber daya mulai berkembang di sana.

EPR untuk limbah kemasan dan kertas koran pun didirikan pada tahun 1994 sesuai arahan Uni Eropa, tetapi produk dan bahan dengan nilai ekonomi tinggi, seperti kertas koran, kemasan kaca, dan kendaraan akhir masa pakai telah dikumpulkan selama bertahun-tahun. Mengumpulkan produk limbah dan mendaur ulang membutuhkan sumber daya yang jauh lebih sedikit dan lebih menguntungkan daripada membuat produk baru dari bahan murni.

Januari lalu, Swedia juga mulai memperkenalkan EPR untuk tekstil. Ini akan dilakukan bertahap selama beberapa tahun. Diharapkan mulai 2028 hingga seterusnya, setidaknya 90 persen limbah tekstil yang dikumpulkan oleh sistem baru akan digunakan kembali atau dikirim untuk pemulihan material. Swedia menargetkan pada 2028 akan mengurangi jumlah rata-rata tekstil yang dikirim ke TPA sebanyak 70 persen.

Swedia dikenal sebagai salah satu negara paling berkelanjutan di dunia. Berdasarkan Suistanable Development Report 2021, Swedia berada di urutan kedua setelah Finlandia sebagai negara paling berkelanjutan di dunia. Selain karena penggunaan sumber energi terbarukan dan emisi karbon yang rendah, 99% limbah di Swedia pun diolah. Ditambah dengan kebijakan EPR ini, tentu tak mengejutkan jika negara ini juga menjadi negara terhijau kelima di dunia.

Extended Producer Responbility di Indonesia

Dalam UU No.18 Pasal 15 Tahun 2008 diatur tentang kewajiban produsen berisi: “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksi yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Pengelolaan oleh produsen ini disebut Extended Producer Responbility.