Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengenal Transaksi Berjalan [Bagian Dua]

Redaksi
×

Mengenal Transaksi Berjalan [Bagian Dua]

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COTransaksi Berjalan (Current Account) mencatat seluruh nilai penjualan dan pembelian barang dan jasa selama setahun atau satu triwulan, dari sudut pandang Indonesia. Lazim dikenal istilah ekspor untuk penjualan, dan impor untuk pembelian.

Juga ada penerimaan atas pemakaian jasa penduduk Indoesia oleh pihak asing, dan penmbayaran atas hal sebaliknya.

Total penerimaan Transaksi Berjalan selama setahun atau pada 2020 mencapai US$194,06 miliar. Sedangkan total pembayaran sebesar US$198,80 miliar. Dengan demikian, Transaksi Berjalan mengalami defisit sebesar US$4,74 miliar.

Tentang barang memang hampir bersesuaian dengan pemahaman publik. Antara lain berupa barang hasil pertambangan, hasil pertanian, dan industri manufaktur. Namun, cakupan dari istilah jasa bersifat sangat luas. Ada jasa transportasi, baik untuk barang maupun orang.

Ada jasa perjalanan, dari wisatawan yang datang, maupun penduduk Indonesia yang bepergian. Ada pula jenis yang terkait dengan balas jasa atas investasi dan utang piutang.

Selama 10 tahun terakhir, penerimaan Transaksi Berjalan berfluktuasi. Rekor penerimaan tertinggi diperoleh pada tahun 2018, sebesar US$233,45 miliar. Akan tetapi, pada saat bersamaan mencatatkan pembayaran yang tertinggi pula, sebesar US$264,09 miliar. Nilai defisitnya pun menjadi rekor, sebesar US$30,63 miliar.  

Analisa atas surplus atau defisit Transaksi Berjalan sering tidak memakai nilai nominalnya, melainkan dalam besaran rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai contoh, defsit tahun 2020 sebesar US$4,74 miliar tadi dapat dinyatakan sebagai 0,45% atas PDB. Membaik secara cukup signifikan dari defisit pada tahun-tahun sebelumnya.

Rasio tersebut biasa dikenal sebagai salah satu indikator kerentanan sektor eksternal atau kadang disebut pula sebagai indikator keberlanjutan (sustainability) sektor eksternal.

Grafik Transaksi Berjalan, 1981-2020

Sumber data: Bank Indonesia, diolah.

Transaksi Berjalan selama kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai fluktuatif. Secara rata-rata, rasio defisitnya sebesar 2,92% atas PDB. Fluktuasi secara rasio sedikit berbeda dengan secara nominal, dipengaruhi oleh laju pertumbuhan PDB nominal. Rasio defisitnya mencapai 7,82% pada tahun 1983. Meski secara nominal hanya sebesar US$6,34 miliar, namun nilai PDB nominal masih belum cukup besar pada saat itu.

Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2011 selalu mengalami surplus, dengan nilai yang juga berfluktuasi. Secara rata-rata, rasio surplusnya sebesar 2,43%. Surplus tertinggi dialami pada tahun 2000 sebesar 4,84%.

Sejak tahun 2012 hingga 2020, Transaksi Berjalan kembali selalu mengalami defisit, dengan rata-rata rasio sebesar 2,28%. Rekor tertinggi defisit secara nominal dialami pada tahun 2018, yakni sebesar US$30,63 miliar.

Akan tetapi dilihat dari nilai rasio, tahun 2018 bukanlah rekor, karena hanya sebesar 2,94%. Lebih rendah dari tahun 2013 (3,19%) dan 2014 (3,09%).

Pada tahun 2020, ketika terjadi pandemi Covid-19, defisit secara nominal turun secara cukup drastis, menjadi sebesar US$4,74 miliar. Secara rasio pun merupakan yang terendah sejak pada periode tahun 2012-2020, yakni hanya sebesar 0,45%.

Meski telah menjadi wacana publik yang cukup luas, istilah Transaksi Berjalan belum sepenuhnya dimengerti. Diskusi terlampau fokus pada salah satu bagian saja dari persoalannya, yaitu ekspor dan impor barang. Atau pada neraca perdagangan versi BPS yang telah memasukkan sebagian jasa terkait pencatatan nilai impor.

Transaksi Berjalan sebenarnya terdiri dari empat komponen yang juga berbentuk neraca. Yaitu: necara barang (Goods), Jasa-jasa (Services), Pendapatan Primer (Primary Income), dan Pendapatan Sekunder (Secondary Income). Analisa harusnya mencermati masing-masing kondisinya.