BARISAN.CO – Bidang Ekonomi & Keuangan DPP PKS menyelenggarakan webinar internasional dengan tema Making Development Work, Rabu (24/03). Disebutkan, masih ada banyak tantangan pembangunan yang harus dihadapi Indonesia.
Webinar ini dipandu oleh Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan Farouk Abdullah Alwyni dan menghadirkan dua pembicara, yaitu Pendiri Islamic Development Management Studies di University Sains Malaysia Syukri Salleh dan Rektor Ostim Technical University Turki Murat Yulek.
Dalam pembukaannya, Farouk yang juga merupakan mantan profesional senior di kantor pusat Islamic Development Bank (IDB), Jeddah Saudi Arabia, menyampaikan latar belakang pemilihan tema Making Development Work.
“Berdasarkan klasifikasi IMF, dari lebih 220 negara, hanya 39 negara yang dianggap sebagai negara maju, yang mayoritasnya berada di belahan dunia Barat. Dari ratusan negara berkembang, hanya beberapa negara Asia Timur yang mulai mengejar negara-negara Barat seperti Hong Kong, Singapura, Korsel, Taiwan, dan terakhir China,“ kata Farouk.
Indonesia, kata Farouk, masih harus berjuang dengan isu-isu pembangunan. Meski telah naik kelas ke level pendapatan menengah ke atas (per kapita US$4.000), Indonesia masih jauh dari jajaran negara berpendapatan tinggi dengan pendapatan nasional per kapita di atas US$12.500.
“Ini baru dari perspektif pendapatan nasional per kapita, belum lagi kalau dilihat isu-isu seperti ketimpangan, ketergantungan ekspor komoditas, birokrasi yang tidak efisien, korupsi, dan aturan hukum (rule of law),“ ungkap Farouk.
Farouk melanjutkan diskusi ini dengan memaparkan satu isu terkait “Islamicity Index”, sebuah indeks yang pada awalnya diciptakan oleh dua professor dari George Washington University di tahun 2010.
Indeks itu pada dasarnya mengukur level keIslamian negara yang direfleksikan dari kepatuhannya terhadap prinsip-prinsip fundamental Islam, di antaranya peluang yang sama untuk berkembang, keadilan sosial dan ekonomi, ketiadaan korupsi, aturan hukum (rule of law), menghargai martabat kemanusiaan dan kebebasan, otoritas politik yang sah, tata kelola yang baik, dan juga kontribusi kepada dunia kemanusiaan.
Menariknya hasil terakhir (2019) dari Islamicity Index justru menempatkan negara-negara maju seperti Selandia Baru, Swedia, Islandia, Belanda, Swiss, dan Denmark berada pada posisi puncak (10 besar).
Sedangkan negara-negara muslim yang memiliki peringkat tertinggi adalah Uni Emirat Arab di peringkat 44, diikuti Malaysia, Albania, Qatar, dan Oman yang berada di peringkat 45, 46, 51, dan 57. Indonesia sendiri berada pada peringkat 61.
“Walaupun masih ada ruang terbuka dalam penyempurnaan Islamicity Index, tetapi indeks ini membantu negara-negara mayoritas muslim untuk mempunyai standar yang sesuai dengan nilai-nilai Islam universal dalam kerangka memperbaiki kinerja negara-negara mayoritas muslim,” ucap Farouk.
Pembangunan Berbasis Islam
Pemaparan selanjutnya yakni Prof. Dr. Muhammad Syukri Salleh dalam gilirannya mengangkat isu How to Sustain Islamic-Based Development. Menurutnya ada dua perspektif yang dapat dipakai guna mengupas masalah pembangunan. Pertama, etnosentrik Barat dengan berbagai variannya (neo-classical ataupun radical theories), dan kedua, perspektif Islam (Tauhid [Aqidah], Fiqh [Shariah], dan Tasawuf [Akhlak]).
Alumnus PhD Oxford University ini meyakini bahwa sebagai seorang Muslim, pembangunan berbasis Islam ataupun manajemen pembangunan Islam adalah aplikasi pembangunan yang akan membawa keberhasilan.
“Kondisi di mana mayoritas negara-negara Muslim yang masih terbelakang saat ini adalah karena mereka tidak mengaplikasikan Islamic-based Development (IBD),” ujar Prof Syukri Salleh ketika diskusi berlangsung.
Dalam praktiknya, Prof Syukri Salleh memaparkan bahwa ada dua pendekatan dalam mengaplikasikan IBD. Pertama adalah dengan pendekatan top down seperti beberapa kali dilakukan di Malaysia, yang di antaranya diterapkan oleh Mahathir Muhammad dengan konsep Inculcation of Good Values, Abdullah Ahmad Badawi dengan Islam Hadhari, Mohd Najib dengan Malaysia Sharia Index, Mahathir Muhammad (bersama Pakatan Harapan) dengan konsep Rahmatan lil-‘Alamiin, dan terakhir Sri Muhyiddin Yasin dengan pendekatan Manhaj Rabbani.
Sedangkan pendekatan bottom up di antaranya adalah Darul Arqam dan Global Ikhwan di Malaysia, Daarut Tauhiid di Indonesia, dan Ban Nua Community di Thailand.
Problem utama penerapan IBD, menurut Prof Syukri Salleh, adalah sustainability. “Inisiatif top down tidak berlanjut ketika kekuasaan para pendukungnya tidak berlanjut lagi, sedangkan inisatif bottom up berhenti ketika ada persoalan dengan otoritas,” ucapnya.
Pada akhir pemaparan Prof Syukri Salleh menyampaikan bagaimana menjadikan pembangunan berbasis Islam berhasil.
Beberapa untuk disebutkan adalah, pertama, pembangunan harus didasari Iman dan Taqwa, di mana konsep hablum-minallah wa hablum-minannas digunakan untuk mewujudkan negara yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur (QS, 34:15).
Kedua, kemauan politik (political will), seperti yang dilakukan di Brunei maupun Malaysia. Walaupun dalam konteks ini, Brunei sebagai negara monarki lebih memberikan kestabilan dalam implementasi—dibandingkan Malaysia dengan perubahan politiknya.
Penguatan Sektor Manufaktur
Sementara itu, Prof. Dr. Murat Yulek mengangkat How Nations Succeed. Mantan ekonom IMF ini mendekati isu keberhasilan pembangunan dengan menekankan pentingnya pengembangan sektor manufaktur.
“Negara berkembang perlu melakukan industrialisasi dan mengembangkan sektor manufaktur agar menjadi negara berpendapatan tinggi. Industrialisasi tidak terjadi secara kebetulan, tetapi peran kebijakan adalah penting secara historis untuk merealisasikan keberhasilan,” ujarnya.
Prof Murat Yulek berpendapat manufaktur penting karena mendorong inovasi dan produktivitas. Produktivitas manufaktur di Amerika Serikat tahun 2007-2015, misalnya, bahkan sempat mengalahkan sektor jasa, walaupun sektor jasa menjadi tempat yang paling banyak menampung pekerja.
Disampaikan pula bahwa industrialisasi adalah bukan sekadar mempunyai banyak pabrik, tetapi lebih sebagai sebuah proses capacity building.
“Tetapi perlu pula diketahui bahwa tidak semua manufaktur baik. Perlu dipilih sektor manufaktur yang benar-benar berdampak terhadap pengembangan industri lainnya. Di sini peran kebijakan industri penting mendorong proses industrialisasi. Secara umum, pengembangan manufaktur akan membutuhkan kapasitas negara dan korporasi yang saling mengisi dan bersinergi,” katanya.
Menurut Prof Murat Yulek, negara-negara berkembang perlu memperhatikan hal-hal yaitu: (i) potensi nilai tambah yang dapat berkontribusi langsung terhadap peningkatan perdapatan per kapita; (ii) mempunyai backward linkages, berdampak menciptakan industri-industri di belakangnya; (iii) sejauh mana potensi ke dalam “learning by doing”; dan (iv) kedalaman teknologi.
Prof Murat Yulek juga menanggapi pendapat yang menyebut bahwa manufaktur adalah poor men’s business dalam konteks ekonomi terkini, di mana jasa semakin mempunyai peranan penting.
“Data menunjukkan negara-negara berpendapatan tinggi sekarang ini seperti Swiss, Irlandia, Singapura, Jerman, Swedia, Korea, Jepang, dan Denmark adalah juga mempunyai nilai tambah manufaktur per kapita yang tinggi,” ungkapnya. []
Diskusi tentang post ini