Setelah kami lulus kuliah, kami jarang bertemu karena saya bekerja sebagai wartawan sebuah majalah berita, mengikuti ritme kehidupan yang sering diceritakan Radhar sebelumnya. Namun komunikasi via telepon masih berjalan. Satu kali saat saya ada urusan harus ke kampus, tanpa sengaja pada saat salat Zuhur saya bertemu Radhar di musholla kampus. Usai shalat berjamaah, Radhar berzikir panjang sekali. Sesuatu yang tak pernah saya dan teman-teman lihat saat kami kuliah dulu. Karena sudah lama tak bertemu, saya tunggu Radhar sampai selesai zikir.
Kami bertukar cerita sambil makan siang di Balsem (“balik semak”), kawasan kuliner yang terletak di antara kampus FISIP, Psikologi, Ilmu Komputer, dan Fak Sastra (kini FIB) UI. Radhar mengatakan sedang mengurus beasiswa S2 ke Prancis. Setelah itu kami bicara hal-hal lain yang membuat saya memiliki kesan baru terhadap Radhar: dia jauh lebih relijius dibandingkan saat kuliah. Referensi ucapannya mulai mengutip ayat Al Qur’an, hadits Nabi, mahfuzat (kalimat-kalimat hikmah). “Aku baru bisa menikmati manisnya ibadah sekarang. Dulu nggak bisa. Mungkin karena terlalu sibuk atau memang kurang konsentrasi dan bukan prioritas jadi meski kadang-kadang ibadah, ya lewat begitu saja. Hambar. Beda dengan sekarang aku baru bisa merasakan adanya getaran ilahiah, adanya sesuatu yang substil dari dalam jiwa,” katanya.
Sepulangnya dia dari kuliah di Prancis, saya baru tahu bahwa Radhar harus menjalani cuci darah. Satu waktu saya dan beberapa kawan bertemu Radhar, dan tiba-tiba memegang pinggangnya. “Aku harus ke RSCM,” katanya. Kami segera menemani ke sana sambil menunggu kehadiran istrinya. Di atas tempat tidur dorong yang meluncur sepanjang koridor menuju ruang perawatan, Radhar bukan saja tak terlihat sakit malahan meminta kami tetap tenang dan … melanjutkan topik pembicaraan sebelumnya yang terputus!
Ketika novel pertama Imperia (2005) beredar, ulasan di majalah Tempo atas novel ini ditulis oleh Radhar. Bisa dibayangkan kegembiraan saya. Sebab meski saya kenal baik dengannya, saya tak punya keberanian untuk memintanya menulis resensi. Bahkan saat masih draf pun saya tak punya nyali untuk meminta Radhar membaca. Rupanya redaktur buku di Tempo saat itu (Idrus F. Shahab) yang meminta Radhar sebagai peresensi. Radhar memenuhi amanah itu dengan adil dan profesional. Dia “melupakan pertemanannya” dengan saya dan berkonsentrasi sebagai pembaca yang menghadapi karya. Tak ada embel-embel lain. Kritiknya tajam meski tetap suportif.
Sepanjang tahun 2020 lalu, kami cukup intens berkomunikasi sejak awal meruyaknnya pandemi sampai akhir tahun. Radhar saya ajak bergabung dengan salah satu grup WA di mana saya menjadi salah seorang adminnya. Dia menolak dengan sopan. “Saya sedang mengurangi aktivitas medsos, terutama WA. Banyak sekali perdebatan tak penting di WA. Selain itu saya sedang mengembangkan YouTube Channel ya, kita japrian terus saja ya, Mal?”
Kini kiriman YouTube Channel dan informasi lain dari Radhar melalui japri akan terhenti selamanya karena sang content creator dan penulis produktif ini sudah kembali menghadap Sang Pencipta. Radhar sudah membuktikan dengan hidupnya sendiri yang tak pernah sekadarnya dalam ikut menjaga dan merawat cara berpikir bangsa dan tegaknya peradaban yang sehat, di tengah kondisi tubuhnya yang didera belasan penyakit komplikasi selama lebih dari dua dekade terakhir. Dia tak pernah takluk oleh keterbatasan raga betapa pun beringas aneka penyakit mendera tubuhnya yang ringkih.
Selamat jalan kawanku, sahabatku, guruku.