ACAP KALI penulis sejarah Nabi Muhammad saw. memotret buram masyarakat sebelum kehadiran Islam. Gambaran yang acap penulis ungkapkan adalah, terutama, tentang perempuan, sebagai keadaan yang jauh dari kata beradab. Ada kesan, penulis-penulis sejarah Muhammad saw. itu hendak memperbesar gambaran bejat masyarakat pra Islam. Memperbesar kondisi sosial perempuan Arab sebelum wahyu kenabian turun, yang sangat-sangat tak bermoral. Tiada martabat. Tiada harga diri secuil pun.
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, misalnya, sebagai sejarawan muslim melukiskan wanita sebagai makhluk yang sama sekali tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Wanita yang tidak bisa sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena sepenuhnya milik laki-laki.
Kaum perempuan di masyarakat jahiliyah selalu digambarkan layaknya budak. Yang tidak memiliki hak-hak kemanusiaan maupun hukum. Diceritakan pula, seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru suci dari haid, “Temuilah Fulan dan berkumpullah bersamanya!” Sang suami tidak mengumpulinya dan sama sekali tidak menyentuhnya, hingga ada kejelasan bahwa istrinya hamil dari orang yang disuruh mengumpulinya. Jika sudah jelas kehamilannya, si suami bisa mengambil kembali istrinya. Perempuan dilukiskan macam barang yang bisa dipinjamkan sesuka hati.
Juga, sekian banyak laki-laki bisa mendatangi perempuan yang dikehendaki. Biasanya mereka memasang bendera di depan pintu si perempuan, sebagai tanda akan mengumpulinya. Juga gambaran bahwa laki-laki bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau ditinggal mati.
Kemudian, yang juga kerap diulas adalah soal tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan, karena takut aib, miskin, dan sebagainya. Umar ibn Khattab, salah satu sahabat terkemuka Nabi saw. diceritakan pernah mengubur anak perempuannya. Singkatnya, selalu saja ada gambaran amoral di masyarakat jahiliyah. Masyarakat memperlakukan kekejaman terhadap bayi-bayi perempuan. Perempuan tidak diharapkan mendapat perbaikan nasib, selain semata sebagai pemuas biologis.
Karen Armstrong juga demikian, penulis Inggris sekaligus mantan biarawati Katolik Roma itu tak luput untuk membidik gambar “harus buruk” masyarakat pra Islam.
Namun, berbeda dengan Prof. Quraish Shihab, yang sungguh berhati-hati untuk tidak memperbesar atau mengecilkan sesuatu di luar proporsinya. Beliau ungkap sifat-sifat terpuji masyarakat jahiliyah seperti kedermawanan, persahabatan, kelapangan dada, keberanian, harga diri, pembelaan kepada kaum lemah, memaafkan, tabah, terbuka, dan menghormati perempuan.
Menurut Prof. Quraish, di Makkah pada masa jahiliyah tidak dikenal kemunafikan, karena sikap terbuka mereka yang disertai keberanian menanggung risiko. Kemunafikan baru dikenal di Madinah. Masih menurut beliau, tolok ukur akhlak adalah sikap terhadap perempuan. Dan, tidak sepenuhnya tepat jika masyarakat jahiliyah itu melecehkan perempuan. Tidak sepenuhnya benar bahwa masyarakat jahiliah gemar mengubur hidup-hidup anak perempuan. Juga tak tepat jika masyarakat sebelum kenabian Muhammad saw. itu menganggap perempuan bak barang yang diperjualbelikan atau sekadar boneka pelampias berahi.
Dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad, Prof. Quraish memaparkan sekian banyak riwayat yang menandaskan betapa harga diri perempuan tempo itu sedemikian penting dan besar. Jelas, bertolak belakang dengan sebagian Sirah Nabawiyah yang justru mendiskreditkan perempuan khususnya, dan masyarakat jjahiliyah pada umumnya.
Kisah Salma al-Ghifariyah, istri Urwah ibn al-Wird al-Abasy, yang sedemikian berharga diri, yang dicintai dan mencintai suaminya bersedia berpisah karena tidak tahan merasa diri sebagai perempuan rampasan perang. “Kematian lebih kusukai daripada hidup di tengah kaummu berucap tentang diriku: ‘Budak Urwah yang begini atau begitu…’ Maka, tinggalkan aku! Kembalilah dan berbaik-baiklah kepada anak-anak kita!”