Scroll untuk baca artikel
Opini

Mengenang Radhar Panca Dahana (1965-2021): HIDUP HARUS LEBIH DARI SEKADARNYA

Redaksi
×

Mengenang Radhar Panca Dahana (1965-2021): HIDUP HARUS LEBIH DARI SEKADARNYA

Sebarkan artikel ini

Oleh: Akmal Nasery Basral*

Indonesia kehilangan lagi seorang sastrawan, budayawan, pemikir sosial, aktivis peradaban dengan wafatnya Radhar Panca Dahana semalam. Seorang penulis prolifik dan eklektik yang ketajaman opininya menjelajahi khazanah susastra sampai politik dengan artikulasi lentur yang bisa memutar-mendakik, bisa pula menghunus-membidik. Dia seorang cempiang nan sulit dicari tandingan.

Perkenalan saya dengan Radhar dimulai pada 1986, di sebuah ruang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ketika kami sebagai mahasiswa baru sedang menjalani Penataran P4. Dalam kelas besar berisi ratusan orang, peserta dibagi dalam beberapa subkelompok lebih kecil. Tangan nasib menuntun kami berkenalan. Ternyata, Radhar dan saya sama-sama bukan mahasiswa FK, melainkan dari FISIP UI. Lebih jauh lagi, kami adalah mahasiswa Sosiologi. Satu kelas di Rawamangun. Namun berkenalan di Salemba.

Saat itu saya belum tahu reputasi RPD yang sudah menasional. Yang saya tahu, pada sesi-sesi penataran setelah perkenalan, Radhar seorang yang antusias sekaligus pembosan. Jika dia tertarik pada materi yang disampaikan, energinya yang meluap bisa membuat fasilitator mati kutu tak bisa menjawab pertanyaannya yang selalu kukuh dengan beragam referensi. Jika dia sedang bosan, tangan kanannya bergerak cepat di atas halaman kertas putih, dengan tangan kiri menutupi apa yang sedang dikerjakan tangan kanannya, tak boleh diintip. Tak lama kemudian—sim salabim—tercipta wajah Fidel Castro atau Ayatollah Khomeini dengan teknik arsiran yang rinci seperti pelukis foto profesional.

“Bagaimana menurutmu, Mal?” tanyanya memperlihatkan gambar.

“Persis sekali,” jawab saya memandangi foto kedua tokoh dunia itu dengan takjub.

“Lebih mending menggambar untuk mengisi waktu dari pada mendengarkan sesi membosankan ini,” bisiknya menyeringai. Lalu tangan kanannya dengan cepat meremas-remas gambar yang baru saja dibuatnya itu sampai menjadi kertas kucel yang dibuangnya. (Sayangnya, saat itu tak terpikir oleh saya untuk menyimpan sketsa istimewa lukisan Radhar itu).

Usai penataran di FK UI, kami kembali ke Rawamangun untuk memulai kuliah sebagai mahasiswa FISIP. Setiap jurusan punya tradisi untuk memplonco mahasiswa baru di luar kampus, kebanyakan di daerah Puncak dengan menyewa vila untuk 1-2 malam. Mahasiswa baru diminta juga untuk membuat sebuah pertunjukan secara kolektif. Radhar di tengah kesibukannya di luar kampus menyempatkan diri bergabung bersama kawan-kawan satu angkatan yang jumlahnya sekitar 40-an orang. Dia membuat sebuah naskah sederhana sekaligus menjadi sutradara yang mengarahkan kami semua. Latihan berjalan di rumah kawan kami yang lokasinya tak jauh dari kampus.

Saat rehat, Radhar menunjuk piano di sudut ruangan. “Ada yang bisa main piano lagunya Phil Collins Against All Odds?”

Seorang kawan menjawab bisa dan memainkan intro lagu. Radhar berdiri dengan lengan kanan bertelekan piano dan suara baritonnya berpendar di seluruh ruangan. “ How can I just let you walk away?/Just let you leave without a trace/When I stand here taking every breath, with you, ooh/You’re the only one who really knew me at all/ …”. Syair lagu disantapnya dengan mulus sampai usai dan kami mengganjarnya dengan aplaus meriah.

(Sekiranya saat itu sudah ada gawai cerdas, rekaman video Radhar menyanyikan lagu melankolis ini dengan penuh penghayatan, bisa menjadi konten yang sangat viral. Tetapi kejadian ini di tahun 1986).

Sebagai mahasiswa baru, ada sejumlah mata kuliah wajib yang harus diambil terlepas dari jurusan yang ditekuni. Salah satunya Pengantar Agama Islam yang harus diikuti semua mahasiswa FISIP yang beragama Islam. Dosen utama seorang guru besar ternama. Pada kuliah pertama, beliau menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran Islam dalam bentuk matriks yang menggambarkan Rukun Islam dan Rukun Iman. Kelas sunyi senyap. Tiba-tiba terdengar interupsi dari kiri belakang. Suara seorang mahasiswa yang lantang dan terdengar jelas oleh siapa pun yang ada di dalam ruangan. “Boleh berkomentar, Prof?” tanya sang mahasiswa, yang tak lain adalah Radhar. Dia berdiri, tidak lagi duduk.