Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Mengintip Perbedaan Perayaan Hari Lajang di Korsel dan Cina

Redaksi
×

Mengintip Perbedaan Perayaan Hari Lajang di Korsel dan Cina

Sebarkan artikel ini

Di Cina, perempuan berpendidikan yang belum menikah di usia 27 tahun diistilahkan sebagai Sheng-nu atau jika diterjemahkan itulah perempuan sisa. Mereka dipandang melanggar moral bahkan dianggap sebagai ancaman bagi kemananan nasional.

BARISAN.COBlack Day (Hari Hitam) adalah perayaan yang didesikan bagi para lajang di Korea Selatan. Tidak seperti Hari Sayang dan White Day, Hari Lajang atau Black Day ini satu-satunya hari libur yang dirayakan bagi orang-orang yang tidak menikah atau terikat dengan seseorang secara romantis.

Setiap tahunnya, diperingati pada 14 April atau dua bulan setelah Hari Kasih Sayang. Pada zaman modern di Korea Selatan, penekanan untuk menjalin hubungan telah menurun selama bertahun-tahun. Oleh karenanya, banyak orang di Korsel yang memandang Black Day sebagai perayaan bukan lagi hari berkabung.

Pada hari itu, para lajang akan menikmati makanan khas Korsel, yakni jjajangmyeon. Panganan ini berupa mie tebal dari gandum dengan saus chunjang.

Umumnya, ditambahkan daging babi cincang atau daging jenis lainnya beserta sayuran. Makanan ini lebih nikmat disajikan dalam keadaan hangat. Kemudian, diaduk dengan menggunakan sumpit.

Belakangan ini orang tidak hanya makan jjajangmyeon pada Black Day, namun bisa memesan dark chocolate cake atau kopi hitam. Apapun makan atau minumannya, selagi berwarna hitam diperbolehkan.

Hari Lajang di Cina

Bukan hanya Korsel yang memiliki Hari Lajang, negeri Tirai Bambu pun merayakannya. Di Cina dirayakan setiap 11 November. Ini bermula pada tahun 1993, saat sekelompok mahasiswa di Universitas Nanjing Cina memilih untuk merayakan kelajangannya ketimbang bersedih.

Para jomblo di sana akan memanjakan dirinya dengan makan malam dan berbelanja. Tahun 2017, Singles Day menjadi satu-satunya liburan belanja online paling menguntungkan. Bagaimana tidak? Penjualan pada hari itu mencapai US$25 miliar.

Pada tahun 2019, raksasa marketplace, Alibaba meraup 268,4 miliar yuan atau sekitar 30 miliar Euro. Angka yang fantastis, bukan?

Mengutip CNA, di Cina, perempuan berpendidikan yang belum menikah di usia 27 tahun diistilahkan sebagai Sheng-nu atau jika diterjemahkan adalah perempuan sisa. Mereka dipandang melanggar moral bahkan dianggap sebagai ancaman bagi kemananan nasional.

Perempuan lajang oleh media dan outlet berita Cina secara teratur diagambarkan sebagai orang kesepian, putus asa, terlalu pemilih, dan mengintimidasi. Penelitian menunjukkan, label sheng-nu itu menekan banyak perempuan untuk menikah. Sedangkan yang lain, melawannya.

Tujuh juta perempuan lajang berusia 25 hingga 34 tahun di sana menjadi salah satu kontributor terbesar bagi pertumbuhan negara itu. Perempuan berkontribusi sekitar 41 persen terhadap PDB Cina, proporsi terbesar dari negara mana pun di dunia.

Perempuan Cina lajang profesional mengubah pola pikir orang lain sebagai kekuatan ekonomi. Mereka menggunakan konsumerisme untuk melawan stigma lama atas status lajangnya.

Kesempatan membelanjakan uang untuk dirinya sendiiri dan hadiah bagi orangtuanya mengubah definisi status lajang mereka secara positif sebagai sesuatu yang bisa dibanggakan. Melalui konsumsi yang mencolok, mereka mempromosikan diri sebagai warga negara yang sukses secara moral, mandiri secara ekonomi.

Bagi perempuan yang terlabeli sheng-nu, konfrontasi langsung dalam bentuk aktivisme sosial dapat berkonsekuensi serius. Sedangkan, konsumsi dan kekuatan ekonomi ini menjadi jalan bagi perempuan di Cina membangun legitimasi gaya hidup alternatif.