Apakah ormas-ormas kita, baik ormas agama maupun ormas yang mengurusi masyarakat secara umum, mengarahkan lembaganya untuk menciptakan pemimpin di luar melayani jamaahnya sendiri? Untuk ormas agama, apakah sekadar mengajarkan soal halal haram dan ritual pribadi, lebih dari melayani masyarakat tertidas?
Apakah partai-partai masih sibuk memikirkan biaya pemilu pilkada, lebih dari memunculkan calon pemimpin untuk semua orang?
Juga apakah lembaga-lembaga perkaderan, dari tingkat pelajaran dan mahasiswa hingga negara, seperti PII, HMI, PMII, IMM, GMNI, PMKRI organisasi kemahasiswaan lain, masih menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader?
Organisasi seperti PII, HMI, IMM, PMII, GMNI, PMKRI dll., adalah organisasi-organisasi mahasiswa yang mapan. Pendiriannya lama sudah dilakukan mengikuti tradisi perkaderan partai-partai dahulu. Namun dalam perjalanannya berubah lebih mandiri lepas dari partai-partai.
Di masa Orde Baru lembaga-lembaga mahasiswa itu menjadi lembaga yang diakui sedikit banyak melahirkan pemimpin. Sebagai konterpartnya di militer ada Akmil dan Akpol yang menghasilkan kadet di dunia militer dan kepolisian.
Pertanyaan yang harus diajukan kepada organisasi ekstra mahasiswa, juga Akpol dan Akmil, adalah apakah materi materi-materi perkaderannya, selain mengajarkan profesionalisme pekerjaan, juga menyiapkan pemimpin untuk semua kalangan.
Di masyarakat kita juga banyak organisasi profesi. Profesi-profesi advokat, jurnalis, pedagang, pengusaha, semua memiliki organisasi. Ada organisasi dengan orientasi keuntungan, namun juga banyak yang orientasi nirlaba dan berbasis gerakan sosial.
NGO-NGO yang didirikan para aktivis, juga organisasi profesi seperti profesi jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI, dan IJTI. Organisasi advokat dengan banyak lembaga seperti YLBHI, PBHI, serta lembaga profesi lainnya adalah contoh organisasi nirlaba, dan bersifat gerakan sosial.
Tetap saja ada catatan kritis untuk lembaga-lembaga itu. Apakah hanya akan melayani anggota dengan penekanan di bidang khusus yang khusus. Selalu ada jebakan-jebakan egosentris yang harus dilawan oleh para pengurusnya, agar lembaga-lembaga itu, bisa melahirkan pemimpin yang bisa melewati batas organisasi.
Yang terakhir harus disorot adalah lembaga perkaderan bentukan negara seperti Lemhanas. Ketika lahir pemimpin dari lembaga ini, tuntutannya adalah pemimpin yang melayani kepentingan semua warga.
Sebagai catatan penutup, jika saja saat ini syarat-syarat kelembagaan untuk lahirnya pemimpin tidak ada. Masyarakat tidak lagi terkondisi seperti dulu, sekolah, lembaga-lembaga, juga negara tidak mengkondisikan tempatnya melahirkan pemimpin, maka celakah kita.