Paradigma merdeka belajar yang desentralistik atau memberikan “kemerdekaan”, kepada para pendidik untuk melakukan pengembangan pendidikan yang sesuai dan relevan.
SAAT memberikan pidato di depan para guru peluncuran pertama konsep ‘merdeka belajar’ Nadiem Makarim menjelaskan bahwa hanya dengan “kemerdekaan”lah para guru, para peserta didik dapat melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif, lebih baik dan sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan nasional.
Kemerdekaan belajar menjadi sebuah pondasi yang paling penting dibuat dan dikuatkan saat seluruh instansi pendidikan dan pemangku kebijakan, serta berbagai stakeholder yang terlibat di dalamnya memulai dan melaksanakan kewajiban mendidik anak-anak.
Mengapa paradigma baru?
Sejatinya pendidikan yang berkualitas jadi sebuah keniscayaan untuk membangun bangsa yang maju. Itu semua tentu terkait erat dengan pengembangan sistem pendidikan yang baik, modern, kreatif dan inovatif.
Nah, kreatifitas dan kemampun berinovasi sulit tercipta di lingkungan lembaga sekolah, tanpa adanya independensi dan kemerdekaan setiap sekolah dan para guru di dalamnya untuk melakukan berbagai perubahan. Inisiatif dan pembaruan akan sulit terwujud, kecuali mereka memiliki kemerdekaan dalam menentukan proses pelaksanaan pembelajarannya lewat implementasi kurikululm operasional sekolah yang mereka rancang sendiri.
Termasuk di dalamnya proses asesmen yang sesuai dengan kondisi murid, guru, serta sarana prasarana sekolah.
Hal tersebut menuntut perubahan paradigma para insan pendidikan, dari paradigma lama yang serba sentralistik kepada paradigma baru yang desentralistik. Atau memberikan “kemerdekaan”, kepada para pendidik untuk melakukan pengembangan pendidikan yang sesuai dan relevan.
Perubahan paradigma dari pola yang serba sentralistik menjadi pola yang desentralistik merupakan konsekuensi dari proses demokratisasi yang pada saat ini tengah diimplementasikan di negara kita.
Karena, mengacu pada iklim reformasi yang menuntut perubahan berbagai kebijakan, konsep pelaksanaan sistem pemerintahan, termasuk di dalamnya reformasi pendidikan nasional yang semakin lama semakin diperlukan.
Paradigma merdeka belajar
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) secara konsisten terus melakukan transformasi pendidikan melalui terobosan Merdeka Belajar. Merdeka Belajar merupakan terobosan yang dilakukan Kemendikbudristek untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul melalui kebijakan yang menguatkan peran seluruh insan pendidikan.
Adapun perubahan yang dilakukan melalui empat upaya perbaikan. Pertama, perbaikan pada infrastruktur dan teknologi. Kedua, perbaikan kebijakan, prosedur, dan pendanaan, serta pemberian otonomi lebih bagi satuan pendidikan.
Untuk peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah, konsep merdeka belajar menjadi substansi, yang mencakup empat program pokok kebijakan dan diluncurkan pada 11 Desember 2019.
Empat pokok kebijakan tersebut meliputi:
- Ujian Sekolah sebagai pengganti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
- Asesmen Nasional (AN) yang menggantikan Ujian Nasional (UN)
- Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan
- Peraturan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Dengan hadirnya Merdeka Belajar episode pertama, sejak tahun 2020, ujian sekolah dilaksanakan sebagai pengganti USBN. Ujian sekolah yang bertujuan untuk menilai kompetensi murid dapat dilakukan dalam tes tertulis atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif seperti portofolio dan penugasan seperti tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya.
Penggantian USBN dengan ujian sekolah didasarkan pada pertimbangan bahwa gurulah yang benar-benar mengetahui kemampuan murid.
Oleh karena itu, ujian sekolah juga memerdekakan guru dan sekolah dalam mengukur capaian belajar peserta didik. UN yang sebelumnya diikuti oleh peserta didik kelas terakhir di setiap jenjang pendidikan diubah menjadi AN yang terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) literasi dan numerasi, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AN diikuti oleh murid yang duduk di pertengahan masa sekolah (misalnya kelas 4, 8, dan 11) sehingga tidak menentukan ketuntasan belajar.
Hasil AN juga tidak menjadi persyaratan penerimaan peserta didik di jenjang selanjutnya. Adapun hasil AN digunakan sebagai landasan penentuan kebijakan dan prioritas penanganan sekolah. Sistem asesmen yang baru ini tidak membebani sekolah, peserta didik, maupun orang tua.
Sistem AN mengacu pada praktik baik di tingkat internasional yang ditunjukkan melalui pelaksanaan Program for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
Konsep merdeka belajar juga mengurangi beban guru dalam membuat administrasi kelas, seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Formatnya dibuat lebih sederhana dan guru diberi kebebasan untuk mengembangkan bentuk RPP sesuai kebutuhan dan kondisi yang ada.
Dengan demikian fokus guru bukan pada format dan bentuk muatan dalam RPPnya, melainkan bagaimana guru memenuhi kebutuhan belajar siswa secara baik dan proporsional.
Program berikutnya dalam penerapan konsep merdeka belajar adalah pada proses penerimaan murid atau peserta didik baru (PPDB). Kemendikbudristek menetapkan sistem zonasi untuk PPDB dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Komposisi PPDB jalur zonasi dalam kebijakan baru ini memungkinkan sekolah untuk menerima siswa minimal 50 persen melalui jalur zonasi, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Sementara sisa 0–30 persen untuk jalur prestasi atau disesuaikan dengan kondisi daerah.
Melalui program ini, konsep ‘merdeka belajar’ memengaruhi mulai dari proses penerimaan calon siswa, tata cara guru mengajar, proses asesmen, hingga penilaian akhir siswa di sekolah. Sebagai pintu luas bagi guru dan siswa mengoptimalkan kemampuannya masing-masing. [Luk]