Sebanyak 37,02% atau 48,52 juta orang pada Februari 2021 termasuk kategori Buruh atau Karyawan atau Pegawai. Yaitu mereka yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah atau gaji, baik berupa uang maupun barang. Di dalamnya termasuk pegawai negeri sipil serta anggota TNI dan POLRI.
Pekerja dengan status ini tampak paling terpukul pandak pandemi. Jumlahnya turun dari 52,34 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 46,72 juta orang pada Agustus 2020. Kembali sedikit meningkat pada Februari 2021 (48,52 juta orang), namun masih jauh dari kondisi sebelum pandemi.
Terdapat 14,26% yang masuk kategori pekerja keluarga/tak dibayar pada Februari 2021. Yaitu mereka yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah atau gaji, baik berupa uang maupun barang.
Grafik 1: Tingkat Pengangguran Terbuka 2009-2021 (juta jiwa)
Grafik 2: Tingkat Pengangguran Terbuka 2009-2021 (%)
Sumber data: Badan Pusat Statistik, diolah.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka tampak serupa penganggur, termasuk jika ditanya langsung: “Apakah mereka menganggap dirinya bekerja?” Jawabannya besar kemungkinan tidak.
Tetapi bagaimanapun, BPS mencatat status mereka sebagai ‘bekerja’, sesuai konsep yang dipakai Sakernas.
Pekerja keluarga/tak dibayar ini meningkat pesat selama pandemi. Dari sebanyak 14,76 juta orang pada Agustus 2020 menjadi 18,32 juta orang pada Agustus 2021 atau bertambah 2,80 juta orang. Ternyata masih sedikit bertambah pada Februari 2021: mencapai 19,18 juta orang.
Dengan demikian, turunnya angka pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2021 dibanding pada Agustus 2020 belum memberi sinyal kuat atas pemulihan ekonomi.
Kondisi ketenagakerjaan masih ‘terbantu’ oleh fenomena serapan sektor pertanian dari sisi lapangan usaha. Serapan yang mungkin lebih bersifat ‘terpaksa’ karena kebiasaan saling bantu keluarga atau masyarakat desa. Dikuatkan oleh fenomena masih bertambahnya pekerja dengan status pekerja keluarga/tak dibayar.
Penulis berpandangan soal lapangan kerja, dan tentu ditambah soalan imbalan kerja bagi mereka, jauh lebih penting dibanding wacana pertumbuhan ekonomi. Kecuali jika yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang antara lain dicirikan oleh penciptaan lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan para pekerja kebanyakan. []
Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri