Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Meski Tervonis Tak Wajar

Redaksi
×

Meski Tervonis Tak Wajar

Sebarkan artikel ini

Kita mafhum, yang tak lazim itu berarti kesendirian. Dan, hanya berkawan dengan segelintir kalangan. Untung saja, tahun 2008, Perumahan Bukit Asri II, tempat saya tinggal, masih terhitung baru. Hanya sembilan kepala keluarga yang menghuni. Karena kebaruannya, jiwa korsa, rasa kebersamaan, serasa kental. Segalanya dibicarakan dan diangkat bersama-sama. Seperti masalah air, atau yang lain, kami bereskan secara berjamaah. Kami mendatangi ramai-ramai pengembang, dan seterusnya.

Kolektivitas serasa menyenangkan. Segala teratasi secara gotong royong. Namun, di balik itu, tetap terselip rasa tak nyaman. Jiwa kolektif, mengandaikan kebersamaan yang minus privasi, berasa menguliti kloset rahasia kami masing-masing. Kolektif telah menutup kemungkinan adanya ruang privasi. Urusan remeh sampai rahasia keluarga, sebab kolektif, jadi rahasia bersama, semua saling tahu. Masalah hutang, cicilan rumah, sepeda motor, sampai tunggakan SPP anak, jadi konsumsi bersama. Saya jadi tak nyaman, merumpi ngalor ngidul tiada ujung pangkal, membeberkan aib sendiri, hingga membicarakan kebiasaan aneh tetangga lain.

Alhasil, saya merasa awal menghuni perumahan, serasa hidup dalam kepura-puraan. Hidup dalam ketidaksungguhan. Tidak apa adanya. Segalanya jadi rayahan, jadi bahan omongan se-kompleks? Syukur kemudian, Tuhan menjawab ketidaknyamanan saya: tradisi serba bersama, lambat laun memudar. Tak sampai lebih dari dua tahun, kebiasaan bersama-sama itu menyurut, seiring laju pertambahan penghuni perumahan.

Tahun 2008 ada sembilan kepala keluarga, tahun 2010 melesat jadi 37 keluarga, kini sudah hampir 80, dan akan terus bertambah hingga 100 unit. Laju yang sungguh pesat untuk sebuah kompleks di pinggiran kota. Kebiasaan nongkrong di pos ronda, yang semula hampir saban malam, mulai tahun 2010 ditinggalkan. Rumah-rumah telah banyak berbenah, pagar rapat, dan ber-AC, sehingga rata-rata penghuni enggan keluar rumah, selain seperlunya saja.

Budaya kolektif menguap, walau tak 100 %. Namun, saya merasa terbebas dari perasaan bersalah. Tiada lagi kewajiban ritus meronda tiap malam. Tiada lagi seremoni membeber rahasia pribadi, dan menguak luka orang lain. Saya terbebas dari rasa sungkan, bahwa saya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada lagi perasaan rendah diri, walau ada senjang karir. Walau celah mendulang pundi teramat minim, dan kenyataan gubuk kami yang tak kunjung mulus.

Budaya kolektif raib, dan pelan-pelan bersemi gejala individualis. Gejala sendiri-sendiri, tak memedulikan kanan kiri. Lantas, inikah yang terbaik?