Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Meski Tervonis Tak Wajar

Redaksi
×

Meski Tervonis Tak Wajar

Sebarkan artikel ini

Jelas tidak. Tetap berkemungkinan plus minus. Tidak sepenuhnya baik, pun sebaliknya tidak jelek melulu. Saya menikmati gejala individualis, karena kita bisa bebas mengekspresikan diri segila mungkin, tanpa tudingan dan sorotan yang berarti dari mata-mata tetangga. Kita dapat menentukan arah biduk rumah tangga, tanpa campur tangan kanan kiri, yang semula selalu diusili: “kenapa begini, kenapa begitu?” Kita menjadi raja untuk diri sendiri.

Asosial! Ya, itu minusnya. Serasa tiada kawan karib seiring untuk dimintai tolong. Urusan air yang tiba-tiba mogok, berhenti mengalir di salah satu penghuni, misalnya, tidak lagi patut dibicarakan bersama dan apalagi menjadi urusan bersama. Air tidak mengalir, ya, harus dibenahi sendiri, kalau tidak sanggup, ya, mesti bayar tukang. Selesai perkara. Gaya hidup bersama, gotong royong, bukan lagi santapan mata sehari-hari.

Terus bagaimana? Memang, apa pun kenyataan, tiada ideal. Tetap hukum plus minus yang berlaku. Tidak ada yang mutlak sempurna, tidak ada yang 100 % memuaskan hati. Dari sinilah saya belajar, bukanlah kesempurnaan hidup yang dikejar, bukan kepuasan hasrat yang dipenuhi, melainkan kesungguhan menjalani proses. Baik kolektivitas maupun individualitas, bukan tujuan, melainkan akibat. Tiada ruang alasan untuk tidak bersungguh-sungguh dalam menempuh pilihan hidup. Meski tervonis tak wajar.