DEMAM Piala Dunia 2022 di Qatar belum basi untuk tetap dibahas, diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Kendati La Pulga, sebutan untuk Lionel Messi, sudah ditahbiskan dengan memenangi Piala Dunia, soal legenda, maestro dan sang genius sepakbola masih saja ada yang mempersoalkannya.
Terutama perseteruan yang laten antara penggemar fanatik Messi dan Cristiano Ronaldo alias CR7. Akhirnya, isu yang dibahas juga melebar dari sepakbola. Seperti soal yang satu pakai tato dan yang lain tidak, kemudian yang satu sangat simpatik dan pihak lain seolah tidak, yang satu sumbang duit buat Palestina yang satu tidak. Begitulah perihal kefasihan bahasa Inggris pun dipersoakkan.
Tapi itulah menariknya. Kadang perseteruan itu ada yang diciptakan dan ada juga yang alami. Bagian teori pemasaran yang mangkus dan sangkil. Seperti halnya dalam drama selalu ada protagonis dan antagonis, ada pahlawan dan ada bandit, ada bawang merah dan ada bawang putih. Dalam dunia marketing dan branding kadang kontras itu justru menguntungkan.
Siapapun pasti mengakui memang Messi pantas dinobatkan sebagai pemain terbaik abad ini. Prestasi yang melimpah dalam tim dan personal mulai dari Liga Spanyol, Liga Prancis, Copa Amerika Latin, tujuh Ballon d’Or, dan Pemain Terbaik Piala Dunia 2022. Apalagi?
Merujuk pada David Epstein dalam bukunya “Range”, kecerdasan atau keterampilan Messi ini termasuk kategori spesialis. Ia sukses lantaran khusus membidangi profesi tertentu sejak belia. Tidak pernah tergoda atau mencoba kegiatan lain kecuali sepakbola dan akhirnya sukses.
Messi ini model kesuksesan yang diraih pegolf Tiger Woods. Oleh sang ayah sudah diperkenal golf sejak masih belajar jalan sambil menyeret-nyeret stik golf. Dan akhirnya seperti sekarang.
Begitu pun tipe permainan Messi termasuk yang unik dan banyak disorot pengamat. Ia dimasukkan dalam kategori pemain sepakbola yang oportunis dan ‘malas’.
Bahkan sampai ada yang meneliti dalam setiap pertandingan rata-rata sekira 80 persen kegiatan Messi di lapangan hanya berjalan dan berlari tanpa bola.
Justru, model ini dianggap sebagian kalangan sebagai kecerdasan dan kegeniusan Messi.
Jurnalis The New Yorker Jody Rosen menulis, “Striker legendaris ini sering terlihat tidak menguasai bola, berjalan-jalan dan berlama-lama dan terlihat agak malas-malasan. Inilah yang sebenarnya dia lakukan.”
Namun di balik itu semua, kata Jody, justru bagian itulah kehebatan Messi. “Bagi Messi berjalan sama artinya dengan melihat dan berpikir. Tapi itu juga penting untuk cara dia mengubah analisis menjadi tindakan,” tulisnya.
Itu bisa ditunjukkan misalnya gol Messi ke gawang Prancis pada menit 108 perpanjangan waktu yang saat itu mengubah kedudukan menjadi 3-2. Saat itu Messi tidak menguasai bola dan hanya berlari kecil di depan gawang. Siapa yang bakal menduga bola muntahan kiper disambar dan jadi gol. Dan, hanya Messi yang bisa membaca dan menganalisis itu menjadi sebuah tindakan.
Pep Guardiola yang pernah melatih Messi selama empat tahun di Barcelona dan kini menjadi manajer Manchester City memberikan gambaran tentang kegeniusan sang maestro.
Menurutnya, pada tahap awal permainan Messi biasanya melakukan analisis yang disebut kartografi. Latihan dalam memindai dan mensurvei, mengukur pertahanan, memperhatikan di mana letak kerentanan, dan menghitung kapan dan bagaimana peluang dapat diambil.
Setelah lima, sepuluh menit, dia akan memiliki peta di matanya dan di otaknya. Dia akan tahu persis apa itu ruang dan apa itu panorama.
Ya, biografi Messi masih belum berakhir. Apalagi dalam usia 35 tahun ini Messi belum berencana untuk gantung sepatu.