Jam kerja yang layak masih sulit diperoleh terutama bagi pekerja informal. Lalu, apa saja risiko dan tantangannya?
BARISAN.CO – Penciptaan lapangan kerja merupakan tantangan besar yang tengah dan masih akan terus dihadapi oleh Indonesia. Tidak hanya sekadar tersedia dalam jumlah yang cukup, melainkan lapangan kerja yang layak. Pekerjaan layak (decent work) merupakan pekerjaan yang berkualitas, menjamin pekerja untuk mengembangkan diri, menghormati hak-hak asasi manusia, dan memberikan pendapatan yang cukup bagi pekerja untuk hidup sejahtera.
Sepuluh unsur disertai berbagai indikator pekerjaan layak dikedepankan dalam publikasi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Salah satunya terkait jam kerja yang layak (decent hours).
Jam kerja yang layak artinya tidak berlebihan, namun juga tidak kurang. Jam kerja berlebihan seringkali menjadi tanda upah per jam yang tidak memadai dan berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental pekerja. Selain itu, bekerja dengan waktu yang berlebihan akan mengurangi produktifitas pekerja, serta mengganggu kehidupan pribadi dan hubungan dengan keluarga.
Tentang dampak buruk bagi Kesehatan karena jam kerja berlebihan telah memperoleh konfirmasi dalam berbagai hasil kajian ilmiah. Salah satunya disampaikan dalam Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan ILO tahun 2021 terkait mereka yang bekerja lebih dari 55 jam seminggu.
Shift kerja yang panjang meningkatkan kematian akibat penyakit jantung dan stroke.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa bekerja 55 jam atau lebih per minggu berakibat risiko stroke 35% lebih tinggi, serta risiko kematian akibat penyakit jantung 17% lebih tinggi. Disebutkan, terlalu banyak pekerjaan dan stres terkait pekerjaan menyebabkan 745.000 kematian akibat stroke dan penyakit jantung iskemik pada tahun 2016.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, fakta ini sangat mengejutkan melihat begitu banyak orang benar-benar terbunuh oleh pekerjaannya. Dia mengatakan setiap kematian terkait pekerjaan dapat dicegah dengan langkah-langkah kesehatan dan keselamatan yang tepat.
Frank Pega, Pejabat Teknis WHO, Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim dan Kesehatan menyebut, mereka yang paling berisiko adalah laki-laki dan orang berusia di atas 54 tahun. Dia menambahkan, sejumlah besar kematian terkait pekerjaan terjadi di Afrika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Menurutnya, negara berpenghasilan rendah dan menengah lebih terpengaruh dan lebih banyak pekerja yang kurang beruntung, khususnya pekerja ekonomi informal.
Dia melanjutkan, pekerja informal lebih mungkin bekerja di pekerjaan dengan sedikit perlindungan dan lebih berisiko.