PERANG di Zaman super modern seperti sekarang ini sangat tidak populer dan sangat membahayakan seluruh umat manusia di bumi. Perang jelas merupakan sebuah kebodohan kolektif karena jika seluruh persenjataan sangat super modern dikeluarkan atas dasar emosi marah para pemimpinnya, maka bukan hanya negara yang berperang tetapi seluruh isi bumi terancam dan bahkan hancur karena begitu kecanggihan super dari peralatan perang pada jaman ini.
Bom nuklir lebih setengah abad yang lalu, pada tahun 1945 sudah mampu membumihanguskan dua kota Jepang. Apalagi teknologi persenjataan modern sekarang, pasti lebih dahsyat daya hancurnya dibandingkan tujuh dekade yang lalu.
Karena itu, pemimpin negara besar yang jengah itu harus berpikir lebih jauh akibat dari perang seperti sekarang ini. Sebaliknya, harus ada lebih banyak hadir pemimpin yang menjalankan misi perdamaian dibandingkan dengan unjuk kegagahan dan kepongahan untuk mengobarkan perang seperti masa perang dunia kesatua dan kedua.
Dari sisi pandangan seperti ini, maka misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan secercah harapan dan langkah awal agar bumi lebih damai dan jauh dari perang. Upaya perdamaian ini patut diacungi jempol dan tidak boleh berhenti melainkan nanti dilanjutkan oleh menteri di bawahnya.
Akhirnya, setelah hampir 8 tahun Jokowi enggan datang ke forum-forum internasional, sekarang saatnyha yang tepat untuk memerankan politik bebas aktif, seperti diamanatkan oleh UUD 1945. Citra dan kesan bahwa Jokowi “inward looking” mulai pupus karena sering tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional.
Namun sekali berperan dalam misi perdamaian ini, maka sekarang sudah memainkan peran yang strategis bagi dunia. Peranan ini juga sangat penting bagi Indonesia karena ini merupakan amanat UUD 1945.
Ini adalah permulaan yang sangat baik, cukup mengejutkan Jokowi mengambil keputusan ini, tentu dengan resiko bahaya yang tidak kecil, apalagi bersama Ibu Negara. Setelah bertemu Presiden Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan dalam kunjungan ke negara-negara besar di dalam G-20 sendiri, utamanya Cina, yang sekarang tetap menahan diri.
Jokowi juga perlu hadir berpidato di forum PBB untuk menyuarakan perdamaian dunia. Para menterinya perlu mempersiapkan panggung jika momentum kunjungan ini mendapat sambutan yang baik dari kedua belah pihak.
Diplomasi ke pihak Nato perlu dilanjutkan lebih mendalam oleh para menterinya karena Nato merupakan akar dan sumber masalah konflik sekarang dan mendatang. Memang aneh di masa damai dimana ekonomi merupakan prioritas utama seluruh dunia, Nato justru unjuk kekuatan dan menggerek misi mendominasi dunia.
Yang begitu naif, konflik mengerikan ini terjadi di dalam negara anggota G-20 sendiri dimana keseluruhan anggota sering bertemu. Ada keseimbangan yang tidak dijaga dimana organisasi lainnya seperti NATO terus melebarkan sayap di masa damai, yang justru dianggap ancaman bagi Putin.
Ini akar masalah sehingga untuk mendamaikan tidak berada dalam posisi menyalahkan satu pihak, dengan argumen apa pun, tetapi kemudian memberi pembenaran pada yang lain. Kesalahan mengambil posisi di dalam PBB bisa dihapus dengan peran strategis yang sedang dilakukan Jokowi sekarang.
Posisi presidens Indonesia di dalamnya sangat strategis dan menguntungkan bagi Jokowi dan Indonesia untuk berperan. Kelembagaan G-20 sangat penting dan mungkin lebih penting dari PBB yang isinya negara gangster dengan watak untuk menguasai, mendominasi dan bahkan jika bisa meniadakan eksistensi negara tertentu. PBB sulit diharapkan berperan untuk mendamaikan perang Rusia Ukraina karena posisinya sudah berpihak.