Scroll untuk baca artikel
Blog

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Redaksi
×

Mohammad Natsir: Pemikirannya Tentang Islam dan Negara

Sebarkan artikel ini


MOHAMMAD NATSIR
 lahir di Minangkabau, Sumatra, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993. Ia dikenal sebagai salah seorang pemikir, pemimpin politik Indonesia dan salah seorang tokoh dunia Islam di abad ini. Tanah Minangkabau pada permulaan abad ini dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia baik dalam bidang keagamaan, intelektual, kesusateraan dan politik Indonesia di masa modern.

Di tempat kelahirannya itu, Mohammad Natsir melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama, ketika dia mulai menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun kepada beberapa orang tokoh alim ulama pembaharu. 

Pendidikan formalnya ditempuh melalui pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda, ia menyelesaikan pendidikannya pada Al-Geme Middelbare School di Bandung dalam bidang kesusasteraan Barat klasik. Natsir sebenarnya mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, atau bahkan Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda dengan beasiswa pemerintah.

Namun dia menolak kesempatan itu dan lebih memilih meneruskan kajian keagamaannya dengan Ustadz Ahmad Hasan, seorang ulama berpaham radikal, dan menjadi tokoh utama organisasi sosial-keagamaan, Persatuan Islam. Natsir juga menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda, dan lebih memilih menekuni dunia pendidikan dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung. 

Natsir mulai tertarik kepada pergerakan Islam sejak belajar di sekolah menengah di Bandung. Pada awalnya ia terlibat dalam kepemimpinan Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang mayoritas anggotanya adalah pelajar-pelajar bumiputera yang bersekolah Belanda.

Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual yang cukup mendalam dari Haji Agus Salim, seorang tokoh intelektual muslim Indonesia dan pemimpin Sarekat Islam. Dalam organisasi pemuda JIB ini, natsir bukan saja dapat saling berdiskusi dengan kawan-kawan yang seusia dengannya, namun dapat pula menerima bimbingan dari tokoh-tokoh yang lebih tua, bukan saja Haji Agus Salim tetapi juga tokoh-tokoh seperti Tjokroaminoto dan A.M. Sangaji. 

Mohammad Natsir mulai melibatkan diri dalam aktivitas politik, ketika ia mendaftarkan diri menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII), dan terpilih menjadi ketua cabang partai itu di Bandung pada awal tahun 1940.

Ia aktif pula dalam kepemimpinan Majlis al-Islam A’la Indunisia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan politik Islam yang didirikan menjelang akhir penjajahan Belanda di Indonesia. Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), dia menjadi Kepala Bagian Pendidikan Kota Madya Bandung, merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.

Di masa pendudukan Jepang itu pula, Natsir aktif dalam kepemimpinan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Natsir tampil menjadi salah seorang politikus dan pemimpin negara.

Pada awalnya, ia menjadi anggota Kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), kemudian menjadi Menteri Penerangan (1946-1948), anggota DPR Sementara, dan akhirnya, karir politiknya sampai ke puncak, ketika ia dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951). Pelantikannya sebagai Perdana Menteri adalah konsekuensi yang wajar dari kedudukannya sebagai Ketua Masyumi, partai politik terbesar di Indonesia masa itu. 

Oposisinya terhadap Presiden Soekarno di masa “demokrasi terpimpin”, dan sikap anti komunismenya yang keras, mendorongnya untuk bergabung dengan kaum pembangkang yang pada mulanya digerakkan oleh panglima-panglima militer di daerah.