MOHAMMAD NATSIR lahir di Minangkabau, Sumatra, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993. Ia dikenal sebagai salah seorang pemikir, pemimpin politik Indonesia dan salah seorang tokoh dunia Islam di abad ini. Tanah Minangkabau pada permulaan abad ini dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia baik dalam bidang keagamaan, intelektual, kesusateraan dan politik Indonesia di masa modern.
Di tempat kelahirannya itu, Mohammad Natsir melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama, ketika dia mulai menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun kepada beberapa orang tokoh alim ulama pembaharu.
Pendidikan formalnya ditempuh melalui pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda, ia menyelesaikan pendidikannya pada Al-Geme Middelbare School di Bandung dalam bidang kesusasteraan Barat klasik. Natsir sebenarnya mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, atau bahkan Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda dengan beasiswa pemerintah.
Namun dia menolak kesempatan itu dan lebih memilih meneruskan kajian keagamaannya dengan Ustadz Ahmad Hasan, seorang ulama berpaham radikal, dan menjadi tokoh utama organisasi sosial-keagamaan, Persatuan Islam. Natsir juga menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda, dan lebih memilih menekuni dunia pendidikan dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
Natsir mulai tertarik kepada pergerakan Islam sejak belajar di sekolah menengah di Bandung. Pada awalnya ia terlibat dalam kepemimpinan Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang mayoritas anggotanya adalah pelajar-pelajar bumiputera yang bersekolah Belanda.
Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual yang cukup mendalam dari Haji Agus Salim, seorang tokoh intelektual muslim Indonesia dan pemimpin Sarekat Islam. Dalam organisasi pemuda JIB ini, natsir bukan saja dapat saling berdiskusi dengan kawan-kawan yang seusia dengannya, namun dapat pula menerima bimbingan dari tokoh-tokoh yang lebih tua, bukan saja Haji Agus Salim tetapi juga tokoh-tokoh seperti Tjokroaminoto dan A.M. Sangaji.
Mohammad Natsir mulai melibatkan diri dalam aktivitas politik, ketika ia mendaftarkan diri menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII), dan terpilih menjadi ketua cabang partai itu di Bandung pada awal tahun 1940.
Ia aktif pula dalam kepemimpinan Majlis al-Islam A’la Indunisia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan politik Islam yang didirikan menjelang akhir penjajahan Belanda di Indonesia. Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), dia menjadi Kepala Bagian Pendidikan Kota Madya Bandung, merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.
Di masa pendudukan Jepang itu pula, Natsir aktif dalam kepemimpinan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Natsir tampil menjadi salah seorang politikus dan pemimpin negara.
Pada awalnya, ia menjadi anggota Kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), kemudian menjadi Menteri Penerangan (1946-1948), anggota DPR Sementara, dan akhirnya, karir politiknya sampai ke puncak, ketika ia dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951). Pelantikannya sebagai Perdana Menteri adalah konsekuensi yang wajar dari kedudukannya sebagai Ketua Masyumi, partai politik terbesar di Indonesia masa itu.
Oposisinya terhadap Presiden Soekarno di masa “demokrasi terpimpin”, dan sikap anti komunismenya yang keras, mendorongnya untuk bergabung dengan kaum pembangkang yang pada mulanya digerakkan oleh panglima-panglima militer di daerah.
Oposisi ini akhirnya merebak menjadi pergolakan bersenjata, setelah mereka membentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Barat. PRRI adalah pemerintah tandingan terhadap Pemerintah Pusat RI di Jakarta.
Alasan pembentukannya antara lain ialah, tokoh-tokoh PRRI berpendapat bahwa pemerintah RI di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda adalah pemerintah yang tidak sah karena dibentuk oleh Presiden Soekarno dengan cara-cara yang menyimpang dari aturan-aturan konstitusi yang berlaku.
Mereka pun menuduh bahwa pemerintah pusat RI terlalu toleran kepada golongan komunis; memfokuskan pembangunan ekonomi hanya di pulau Jawa dan mengabaikan daerah-daerah lain di Indonesia. PRRI akhirnya dapat dilumpuhkan secara militer oleh pemerintah pusat, sehingga kekuatan mereka tercerai-berai. PRRI–yang kemudian berganti nama menjadi Republik Persatuan Indonesia (RPI)–akhirnya menghentikan perlawanan, setelah pemerintah pusat mengumumkan amnesti umum kepada mereka yang menyerah.
Setelah menerima amnesti dari keterlibatannya di dalam PRRI, Natsir ternyata ditahan oleh Pemerintah Presiden Soekarno dengan dakwaan subversif. Ini sebenarnya tidak sejalan dengan janji amnesti yang sebelumnya telah diumumkan.
Selama tujuh tahun ia berada dalam tahanan tanpa proses peradilan, sehingga kesalahannya secara hukum tidak pernah dibuktikan Orde Baru, beberapa waktu setelah pemerintah Presiden Soekarno jatuh.
Di masa tua, Mohammad Natsir mulai enggan melibatkan diri dalam pertarungan politik secara langsung. Meskipun demikian, pengaruh pribadinya tetap merupakan sebuah faktor yang tidak dapat diabaikan dalam dunia politik Indonesia.
Semakin tua usianya, ia semakin memusatkan perhatiannya kepada soal-soal dakwah dan pembangunan umat. Hingga akhir hayatnya, Mohammad Natsir menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sebuah organisasi sosial keagamaan yang tidak melibatkan diri secara langsung ke dalam peristiwa-peristiwa politik.
Walaupun di masa tua Natsir, mengatakan tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan politik secara langsung, akan tetapi dia tidak tinggal diam dalam menghadapi berbagai peristiwa politik. Sebagai salah seorang sesepuh, kadang-kadang ia masih juga menggunakan pengaruh pribadinya untuk menumbuhkan suasana kehidupan politik yang lebih baik dan lebih demokratik, sesuai dengan konstitusi di negeri ini.
Maka tidaklah mengherankan jika ia ikut serta menanda-tangani “Pernyataan Keprihatinan” yang kemudian lebih populer dengan sebutan kelompok “Petisi 50”. Sikap politik Mohammad Natsir yang paling akhir menjelang wafatnya, ialah dukungannya kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilu 1992.
Natsir menganggap, partai perlu mendapatkan kursi yang lebih banyak di DPR, agar demokrasi tidak tenggelam di bawah single majority salah satu kekuatan sosial-politik, yang dapat membuka peluang lumpuhnya fungsi kontrol dari lembaga perwakilan rakyat itu.
Di dunia internasional, Natsir dikenal karena dukungannya yang tegas terhadap pergerakan-pergerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Muslim di Asia dan Afrika, dan usahanya untuk menghimpun kerjasama antara negara-negara Muslim yang beru merdeka. Karena itu agaknya tidak berlebihan jika Dr. Inamullah Khan menyebut Natsir sebagai salah seorang tokoh besar dunia Islam abad ini.
Sebagai sesepun pemimpin politik, Mohammad Natsir sering dimintai nasehat dan pandangannya bukan saja oleh tokoh-tokoh PLO, Mujahidin Afghanistan, Moro, Bosnia dan lainnya, tetapi juga oleh tokoh-tokoh politik di dunia bukan Muslim seperti Jepang dan Thailand.
Sebagai penghormatan kepada Mohammad Natsir, sejak tahun 1967, dia dilantik menjadi wakil Presiden World Islamic Congress yang bermarkas di Karachi, Pakistan, dan anggota Badan pendiri, Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia. Ia memangku jabatan itu hingga akhir hayatnya.
Biografi singkat Natsir seperti dikemukakan di atas, diharapkan dapat membantu untuk memahami pemikiran-pemikirannya. Dia telah menuliskan gagasannya, kadang-kadang dalam bentuk polemik, baik mengenai Islam, filsafat, kebudayaan dan politik semenjak usia muda.
Gagasan
Gagasan-gagasannya itu, tidak dapat dilihat semata-mata sebagai salah satu renungan intelektual dari seorang tokoh yang berada di atas menara gading, karena dia menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik, yang ia sendiri terlibat sebagai salah seorang pelakunya.
Keterlibatan Mohammad Natsir dalam memimpin sebuah partai politik terbesar di Indonesia dan berkali-kali terlibat dalam memgang kekuasaan politik seperti telah diungkap di atas, menyebabkan ia harus dilihat dalam perspektif yang berbeda dengan beberapa tokoh pemikir Islam terkemuka yang lain di abad ini, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb ataupun Sayyid Abu al-A’la al-maududi.
Ketiga tokoh yang disebut terakhir ini, adalah pemimpin suatu pergerakan sosial, keagamaan dan politik yang bercorak marginal, dan selama hidupnya berada di luar panggung kekuasaan politik di negara mereka masing-masing.
Secara metodologis, untuk memahami pemikiran seorang tokoh tentulah tidak akan memuaskan jika hanya mengkaji latar belakang sosialisasi intelektual dan politiknya. Tidak dapat pula diabaikan kaitan gagasannya dengan pandangan-pandangan filosofis tertentu yang dianutnya, aliran-aliran pemikiran yang dianutnya, dan konteks zaman di mana seorang pemikir menjalani kehidupannya.
Dalam hubungannya dengan Natsir, perlu juga dipahami landasan filosofis pemikirannya, alirannya dan berbagai tantangan pemikiran dari orang-orang lain yang sezaman dengannya. aspek-aspek ini akan menjadi fokus pembahasan di dalam paragraf-paragraf di bawah ini.
Basis Pemikirannya
Latar belakang sosialisasi intelektual dan keagamaannya, serta tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang berusaha untuk “memojokkan” Islam, baik dari kaum orientalis Belanda, tokoh-tokoh nasionalisme” yang cenderung sekuler dan berusaha membangkitkan nostalgia zaman pra-Islam, telah mendorong Natsir untuk mengikuti jejak “modernisme politik” dari pendahulunya, Agus Salim dan Tjokroaminoto.
Gagasan-gagasan gerakan politik Mohammad Natsir yang pertama kali dilontarkannya pada awal tahun 1930, memperlihatkan ciri-ciri pemikiran “modernisme Islam”. Natsir di masa muda, lebih memperlihatkan corak pemikiran mempertahankan Islam dari berbagai serangan pihak yang ingin menyudutkannya.
Keadaan kaum muslimin Indonesia pada masa itu, memang dapat dikatakan berada dalam suasana kemunduran pada berbagai aspek kehidupan. Faktor yang mempengaruhi kemunduran ini adalah tentu saja terjadinya penjajahan yang berkepanjangan, dan sikap penjajah yang memusuhi Islam.
Menurut Mohammad Natsir, bahwa kemajuan atau kemunduran umat Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan kepada doktrin tauhid, serta bagaimana mereka mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan keseharian mereka, pandangannya ini tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh modernis yang lainnya.
Natsir bertindak sebagai seorang reformis yang berusaha untuk memberikan interpretasi baru kepada doktrin-doktrin keagamaan, dan mengajak masyarakat untuk memurnikan pelaksanaan amalan-amalan keagamaan mereka dari unsur-unsur bukan Islam.
Pengaruh pandangan keagamaan A. Hassan, pemimpin Persatuan Islam yang menjadi gurunya, tampak terasa dalam usaha Mohammad Natsir di bidang ini. A. Hassan memang dikenal sebagai seorang ulama yang bersikap keras untuk melaksanakan amalan-amalan keagamaan dengan semata-mata berasaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Hassan pun dikenal amat anti-paham taqlid, bid’ah dan khurafat.
Walaupun diskusi-diskusi Natsir, menurut Yusril Ihza Mahendra baru berkenan dengan masalah-masalah agama pada awal tahun 1930-an itu nampak membincangkan masalah-masalah “sederhana” jika dilihat dari perspektif masa kini, seperti persoalan mengenai “nawaitu” dalam shalat, membaca doa qunut dalam shalat shubuh, dan membaca talqin serta kenduri selepas menguburkan jenazah, namun diskusi-diskusi itu akhirnya membuka minat yang lebih luas untuk mendalami agama, dan mengkajinya secara lebih kritis dan bercorak intelektual.
Setelah diskusi-diskusi mengenai perkara-perkara “sederhana” itu mulai mereda, perhatian kemudian ditujukan kepada persoalan-persoalan keislaman yang lebih luas, yang mencakup pula persoalan-persoalan masyarakat dan politik.
Dalam rangka semangat intelektualisme keagamaan yang mulai tumbuh itu, Mohammad Natsir berusaha untuk merumuskan pandangan mengenai tauhid yang menjadi asas bagi ajaran Islam.
Dia memang tidak menulis sebuah risalah mengenai ilmu kalam, seperti dilakukan oleh Muhammad Abduh, namun berusaha untuk memberikan pandangan baru mengenai tauhid secara lebih komprehensif.
Mohammad Natsir mengibaratkan tauhid sebagai sebilah pisau yang bermata dua. Pada satu sisi, ia menegaskan keesaan Allah sebagai satu-satunya dzat yang dipertuhan (al-Ilah) oleh manusia, dan menjadi titik tolak dari seorang muslim dalam memandang hidupnya.
Dengan memandang hidup itu sebagai sesuatu yang berawal dari Tuhan dan kembali lagi kepada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu ada adalah hamba-hamba-Nya yang menjalani kehidupan yang sementara di dunia ini, maka tauhid membawa implikasi-implikasi besar dalam kehidupan manusia.
Mengarahkan hidup hanya kepada Tuhan yang transenden, maka manusia secara individu telah menjalani proses pembebasan dari belenggu hawa nafsu, menumbuhkan asas-asas etika kehidupan yang kukuh dan memerdekakan manusia dari perhambaan kepada sesama makhluk.
Tauhid bagi Mohammad Natsir akan membuat hidup manusia menjadi lebih bermakna, menumbuhkan rasa tanggung jawab individual manusia terhadap Tuhannya. Ibadah-ibadah keagamaan seperti shalat, zikir dan puasa, akan terus menerus memperkukuh hubungan manusia dengan Tuhannya.
Ibadah-ibadah ini merupakan proses penyucian jiwa, yang juga berfungsi sebagai usaha untuk memperbaharuui iman, memperhalus kepekaan hati nurani dan akhirnya juga sebagai upaya untuk meningkatkan kecerdasan intelektual masing-masing individu.
Dengan demikian, menurut Natsir, sisi pertama dari tauhid, adalah memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spiritualitas yang mendalam, dan juga menjadi basis etika pribadi.
Masih menurut Natsir, sisi kedua dari tauhid, berisikan penekanan kepada kesatuan universal umat manusia sebagai umat yang satu, berdasarkan persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran. Artinya dalam konteks kemanusiaan, tauhid jelas-jelas menegaskan prinsip humanisme universal yang tanpa batas.
Karena itu, Natsir dalam berbagai tulisannya sering kali menegaskan bahwa manusia akan ditimpa oleh bencana yang dahsyat, kecuali mereka yang memelihara tali perhubungan dengan Tuhan dan dengan sesama.
Hubungan manusia dengan Tuhan yang ditumbuhkan melalui shalat dan zikir, lebih jauh akan menuntut implementasi dalam hubungan sosial. Karena itu bagi Natsir, iman dan amal saleh, adalah dua perkara yang saling berhubungan erat, karena yang satu tidak akan sempurna tanpa yang lainnya.
Iman akan mengingatkan manusia untuk berbuat baik (ihsan) kepada sesama manusia, sebagaimana Tuhan telah berbuat kebaikan kepada mereka.
Implementasi amal saleh dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah suatu pengabdian (perhambaan) manusia terhadap Tuhannya. Konsep bahwa hidup adalah mengabdi (memperhambakan diri) kepada Tuhan mempunyai makna substansial di dalam Islam. Ini karena paham tauhid menegaskan bahwa Tuhan tidaklah membutuhkan sesuatu dari manusia hamba-hambanya.
وما خلقت الجن والانس إلا ليعبدون.
Dengan demikian, perhambaan diri manusia kepada Tuhan pada dasarnya adalah penundukan manusia kepada hati nuraninya yang paling dalam. Dan ini akan membawa manusia kepada kebahagiaan hidup, meskipun dari luar seseorang tanpak menderita dalam perjuangannya menegakkan apa yang dianggapnya sebagai amal saleh dan ihsan itu.
Dari sini, tampak Natsir berusaha untuk menghidupkan kembali pandangan sufisme tradisional Islam yang menekankan nilai-nilai spriritualisme yang mendalam berdasarkan konsep cinta dan pengabdian kepada Tuhan.
Meskipun ia sangat menekankan spiritualitas keagamaan, Natsir tetap berusaha untuk membangun kerangka pemahaman keagamaan yang lebih rasional apalagi terhadap Islam dalam hubungannya dengan problema-problema keduniaan.
Lebih lanjut Natsir mengungkapkan Agama Islam menggembirakan pemeluknya supaja selalu berusaha mengadakan barang jang belum ada, merintis djalan jang belum ditempuh, membuat inisiatif dalam hal keduniaan jang memberi manfaat bagi masjarakat.
ولا تقف ماليس لك به علمقلى إنّ السمع والبصر والفؤاد كل اولئك كان عنه مسؤلا.
Bersandar pada ayat di atas Bagi Natsir, agama yang benar bukan saja harus mampu menenteramkan batin manusia yang gelisah, tetapi juga mampu memenuhi kecenderungan intelektual manusia yang selalu bertanya. Dalam hal-hal keduniaan ini, Natsir mendukung paham “kebebasan” berpikir, hingga batas-batas tertentu di mana doktrin agama membenarkannya. Akan tetapi, ia menolak dengan tegas kebebasan berpikir yang tanpa batas.
Pemikirannya Tentang Islam dan Negara
Tauhid bagi Natsir menjadi tumpuan bagi pandangan “modernisme politik Islam” yang dianutnya. Istilah modernisme politik Islam di sini diartikan menurut Yusril Ihza Mahendra, sebagai suatu sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohaniaan, sosial dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan menyesuaikannya dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban manusia.
Al-Qur’an membawakan tauhid, kepertjajaan kepada Tuhan Jang Maha Esa. Tauhid membebaskan manusia dari pada segala matjam tachjul dan kepertjajaan chajali, tauhid meletakkan perhubungan antara Tuhan dengan machluk-Nja langsung dengan tiada perantaraan apapun djuga, tauhid menumbuhkan dalam tiap2 djiwa jang beriman kesadaran akan harga diri, sebagai hamba Allah disamping hamba Allah yang lain.
Tauhid mengandung dua sisi, yaitu habl min Allah (hubungan manusia dengan Tuhan) dan habl min al-nas (hubuangan manusia dengan manusia), maka Islam menurut Natsir, tidaklah memisahkan urusan-urusan rohaniah dengan urusan-urusan keduniaan.
Sisi kerohanian akan menjadi landasan bagi segi-segi keduniaan. artinya etika kegamaan yang bercorak universal yang ditekankan oleh ajaran Islam itu, haruslah menjadi dasar bagi kehidupan politik.
Politik bukan sesuatu yang “kotor” tetapi suatu yang tampak “netral”. “Kekotoran” ataupun “kesucian” politik adalah tergantung sejauhmana manusia yang terlibat di dalamnya mampu menjadikan asas-asas kerohanian sebagai pedoman dalam perilaku politik mereka.
Natsir tidak melihat Islam itu sebagai al-din wa al-dawlah (agama dan negara) secara sekaligus seperti halnya ahli-ahli fiqh ternama seperti Imam al-Mawardi yang banyak mempengaruhi pandangan golongan tradisionalis Muslim di masa kemudian. Natsir tampaknya mengikuti pandangan Ibnu Taimiyyah yang melihat “negara” sebagai sesuatu yang “perlu” bagi penegakan ajaran-ajaran agama, tetapi eksistensinya adalah hanya sebatas sebagai “alat” belaka, dan bukannya lembaga keagamaan itu sendiri.
Kita tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai seorang yang berpolitik, kita tak dapat melepaskan diri dari ideology kita, jakni ideology Islam. Bagi kita menegakkan Islam itu tak dapat dilepaskan dari menegakkan masjarakat, menegakkan Negara, menegakkan Kemerdekaan.
Natsir beragumen, kalau negara adalah alat yang diperlukan untuk menegakkan agama, maka manusia tentulah tidak akan menggunakan “alat” yang sama. Biasanya “alat”, akan lebih canggih dibanding dengan “alat” yang dipergunakan di masa yang telah lalu, meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama.
Dengan kata lain, Natsir tidak melihat bahwa ajaran Islam memberikan suatu bentuk atau pun struktur tertentu mengenai sebuah negara. Baginya, apa yang disediakan oleh doktrin di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk yang bersifat umum mengenai pembentukan sebuah negara.
Nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat umum itu di antaranya ialah prinsip bahwa kekuasaan di dalam sebuah negara ialah “amanah” yang mesti dilaksanakan. Prinsip bahwa kekuasaan haruslah dijalankan berdasarkan ‘syura’ dengan berpedoman kepada asas keadilan dan persamaan.
Permasalahan yang sesungguhnya adalah bagaimanakah caranya agar prinsip-prinsip tersebut dapat diimplementasikan ke dalam sebuah negara? Menurut Natsir, bahwa implementasi hal tersebut memerlukan ijtihad dengan “memperhatikan keadaan tempat dan masanya”.
Ijtihad, seperti dikatakan Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip oleh Yusril Ihza Mahendra, ialah “prinsip gerak di dalam struktur Islam”, yakni usaha secara optimal untuk memahami asas-asas umum di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan menerapkannya guna menyelesaikan pelbagai masalah aktual di dalam masyarakat pada suatu zaman dan tempat tertentu.
Jadi ijtihad memang merupakan sumber dinamik internal Islam dalam menghadapi dinamika eksternal sebuah masyarakat. Masalahnya kemudian siapakah yang boleh menjalankan ijtihad?
Natsir, sebagaimana tokoh-tokoh modernis yang lain, berusaha untuk melunakkan syarat-syarat ijtihad dalam urusan-urusan keduniaan, bukan saja terbatas kepada kaum alim-ulama, tetapi juga kaum intelektual dan pemimpin-pemimpin yang dipercayai oleh rakyatnya.
Menurut Natsir, ijtihad memungkinkan masyarakat Islam dapat merumuskan cita-cita dan program sosial politik mereka dengan memperhatikan keadaan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Ini tentu akan membawa kepada pengakuan adanya universalisme dan partikularisme dalam Islam, yaitu Islam yang bercorak mutlak dan universal yang dijumpai di dalam doktrin, dan Islam yang bercorak relatif dan partikular yang dihasilkan oleh ijtihad.
Ini membawa implikasi pula kepada penerimaan adanya kemajemukan umat Islam berdasarkan tempat dan waktu yang berlainan. Pemikiran modernisme Natsir agaknya semakin mendorong pembentukan sebuah “negara-bangsa”, tetapi tetap berdasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Pandangan demikian, jelas berbeda dengan pandangan kaum fundamentalis yang menganggap semua orang Islam di atas dunia ini adalah “sebuah bangsa” tanpa dibatasi oleh pagar negara ras, bahasa dan warna kulit.
Akan tetapi Nastir memperlihatkan sikap ketidakjelasannya ketika dalam konteks penerimaan adanya sebuah negara bangsa, Natsir menginginkan Islam dijadikan sebagai ideologi negara. Pandangan yang secara sekilas mengandung kontradiksi. Bukankah Islam adalah ajaran transenden yang berasal dari Tuhan, sedangkan ideologi adalah ciptaan akal manusia?
Islam sebagai ideologi yang dimaksud Natsir, tidak lain adalah hasil ijtihad manusia terhadap ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dirumuskan kedalam cita-cita dan program sosial politik yang diperjuangkan oleh suatu bangsa, suatu partai politik, atau pun suatu kelompok politik lain yang berasaskan Islam.
Jadi sebagai ideologi, Islam dirumuskan melalui ijtihad secara lebih eksplisit dan lebih tegas untuk diperjuangkan di atas dunia ini. Ijtihad dalam konteks seperti dipahami oleh Natsir, adalah lazim dikenal dalam kajian politik masyarakat-masyarakat Muslim di masa kini sebagai proses “ideologisasi Islam”.
Mengenai kekuatiran2, bahwa kalau orang Islam menang dalam pemilihan- umum, Pantjasila akan hilang, dikatakanja bahwa semuanja itu sangka gandjil. Negara Islam yang diperjuangkan Masjumi bukan untuk orang Islam saja, tetapi kemakmuran untuk seluruh umat manusia, bahkan untuk binatang sekalipun.
Didasarkannja Negara Republik Indonesia saat ini dengan Pantjasila, sebenarnya adalah pengambilan dari beribu-ribu sila jang terdapat dalam Islam.
Dan kalau terbentuk negara Islam, maka Pantjasila akan dapat dipelihara dan akan dapat dipupuk bersama sila2 jang lain. Sementara itu dikuatirkannja Pantjasila itu akan laju apabila diserahkan kepada PKI jang jelas kalau PKI menang dalam pemilihan umum dan PKI berkuasa, maka sila Ketuhanan Jang Maha Esa akan dipotongnja, sehingga lajulah Pantjasila jang diharap2kan itu.
Keterlibatasn Natsir dalam melakukan proses ideologisasi Islam di Indonesia hanyalah dapat dipahami dalam kedudukannya sebagai salah seorang aktivis pergerakan sosial, keagamaan dan politik. Sebagai seorang intelektual dan aktivis pergerakan politik pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia.
Natsir, khawatir terhadap pengaruh golongan nasionalis sekular yang ingin mengenyampingkan agama dengan cara berpaling ke Barat, atau sebagian lagi mencoba untuk menghidupkan kembali nilai-nilai nenek-moyang dari zaman pra-Islam.
Kekhawatirannya ini cukup beralasan dengan begitu kuatnya pengaruh golongan komunis yang pada masa itu melakukan gerakan bawah tanah setelah pemberontakannya gagal di Silungkang, Sumatra Barat, pada tahun 1927.
Natsir mencoba menangkal pengaruh tersebut dengan ideologisasi Islam, Natsir melihat bahwa dengan cara ini perkembangan masyarakat Indonesia di masa depan akan terselamatkan dan tetap berada dalam batas-batas yang dibenarkan oleh doktrin keagamaan.
Ideologisasi ini membawanya kepada penolakannya terhadap ideologi Pancasila. Penolakan Natsir terhadap ideologi ini banyak disebabkan karena adanya ancaman sekularisme yang akan membahayakan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Indikasi ini tampak jelas terlihat oleh Natsir dari sikap Soekarno yang menempatkan Pancasila dalam kedudukan netral terhadap semua ideologi, pendapat Soekarno yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan pemersatu bangsa, padahal golongan komunis tidak akan menyetujui sila Ketuhanan Yang Maha Esa walaupun dalam konstituante mereka mendukung Pancasila.
Natsir menambahkan bahwa Pancasila akan berarti bila dikaitkan dengan isu suatu ideologi, tetapi karena Soekarno menempatkan Pancasila dalam kedudukan netral terhadap semua ideologi, maka Pancasila itu kosong dari isi. Natsir berpendapat bahwa agama Islam bisa dijadikan acuan sistem kenegaraan dan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat karena agama Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan menjamin keragaman dan menghargai golongan yang ada dalam negara. Ini menjadi bisa dimengerti karena memang mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Pada akhirnya Natisr tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempertemukan antara Islam dengan paham demokrasi liberal yang berkembang luas di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pandangannya mengenai demokrasi ini menunjukkan adanya perkembangan dari waktu ke waktu.
Sejalan dengan keyakinannya bahwa negara pada prinsipnya adalah “alat” untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh agama, Natsir berpendapat bahwa tidak ada suatu model tertentu yang bersifat “baku” mengenai sebuah negara sebagaimana dikehendaki oleh Islam.
Kaum muslimin yang hidup pada suatu zaman dan tempat tertentu di dunia ini, menurutnya adalah bebas untuk menyusun negara mereka sendiri menurut cara-cara yang sesuai dengan keadaan mereka. Mereka pun berhak pula untuk mencontoh berbagai sistem pemerintahan yang telah dikembnagkan oleh bangsa-bangsa lain meskipun mereka bukan bangsa Muslim. Karena, menurut Natsir, prestasi sebuah peradaban tidaklah semata-mata menjadi hak milik mutlak masyarakat yang melahirkannya. Bangsa-bangsa lain berhak pula untuk menikmati penemuan-penemuan masyarakat lain bagi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Dan bagi Natsir demokrasi adalah sistem yang mendekati apa yang dimaksudkan dalam Islam sebagai syura.
Untuk membaca pemikiran Natsir tentang negara, ada dua hal yang perlu diperhatikan pertama, yaitu faktor sosial politik pada saat terjadinya polemik (1940) terutama yang berkaitan dengan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekular. Ditilik dari segi ini, munculnya gagasan Natsir merupakan usaha untuk memperkuat ikatan ideologis diantara kubu nasionalis Islam, kedua, lahirnya gagasan Natsir, dianggap sebagai reaktif terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung nasionalis sekular.
Dalam hal ini akar pemikiran Soekarno nampaknya sama dengan pemikiran Kemal Fasya di Turki ketika menerapkan pemisahan antara negara dan agama. Dengan demikian, ada dua faktor yang melatarbelakangi pemikiran Natsir tentang negara yaitu tanggapan Natsir terhadap sekularisasi yang sedang terjadi di Turki yang sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Soekarno sebagai “lawan” debat Natsir.
Pada tahun 1940, ketika Natsir masih muda dan menjadi aktivis pergerakan sosial dan politik di masa penjajahan, dia menganjurkan cara yang liberal dalam menyusun sebuah negara (Indonesia) di masa yang akan datang. “Umat Islam”, katanya, boleh mencontoh sistem-sistem pemerintahan yang ada di negara-negara lain seperti Inggris, Finlandia, Jepang, bahkan Rusia, jika mereka menilai sistem-sistem itu dapat mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh Islam.
Natsir memang mengingatkan agar kaum Muslimin jangan sekadar mencontoh saja secara membabi buta tanpa penilaian kritis terhadap berbagai pemerintahan yang telah ada itu. Contoh negara-negara yang disebutkan Natsir itu tampaknya amat liberal, karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter berhaluasn fasis. Sedangkan Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu sengaja ditunjukkan olehnya, semata-mata ingin memperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem pemerintahan yang telah ada di dunia.
Menurut Yusril, Natsir lebih tertarik untuk mengadaptasi asas-asas sosial dan politik di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan paham demokrasi liberal seperti dipraktekkan di Eropa dan Amerika Serikat. Natsir beranggapan bahwa dasar-dasar sosial politik Islam sebenarnya menghendaki sebuah sistem yang demokratis yang hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal.
Perbedaannya hanya terletak pada garis panduan untuk dijadikan dasar dalam menetapkan kebijaksanaan politik, hukum dan berbagai keputusan politik lainnya. Dalam demokrasi Islam, menurut Natsir, perumusan kebijaksanaan politik, ekonomi, hukum dan lain-lainnya haruslah mengacu kepada asas-asas yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Atau sekurang-kurangnya kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip doktrin.
Natsir berpendapat bahwa Islam itu “tidak demokrasi 100%”. Karena keputusan politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota-anggota parlemen. Keputusan itu, tidak dapat melampaui hudud (batas-batas) yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Natsir menyebutnya dengan demokrasi di dalam Islam dengan istilah “Theistic Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan.
Hudud yang disebutkan oleh Natsir itu bukanlah sistem penghukuman dalam hukum pidana Islam seperti ditafsirkan oleh golongan alim-ulama berpaham tradisional, melainkan “prinsip-prinsip moral universal” yang akan menjamin tegaknya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Jadi, dia menafsirkan hudud itu hampir serupa dengan konsep “natural law” seperti dipahami Thomas Aquinas, Natsir menjamin tidak akan ada norma-norma hukum yang akan mempunyai kekuatan untuk berlaku, jika ia berlawanan dengan “natural law” sebagai norma moral yang universal.
Demokrasi yang dikehendaki oleh Islam dalam pandangan Natsir adalah hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal, kecuali panduan dalam mengambil keputusan politik seperti dikatakan di atas, didasarkan kepada interpretasinya atas konsep ijtihad, syura’ dan ijma’. Ijtihad dilihat oleh Natsir sebagai suatu keharusan mutlak bagi Islam dalam menghadapi dinamika perubahan masyarakat.
Tanpa ijtihad, doktrin sebagaimana ditafsirkan serta diwariskan oleh tradisi di masa yang silam akan kehilangan relevansinya dengan problema dunia masa kini. Ijma’, secara tradisional diartikan sebagai “kesepakatan alim ulama fiqih tentang kualifikasi hukum dari suatu perkara yang tidak tegas penentuan hukumnya, baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam Sunnah”. Natsir melihat ijma’ sebagai kesepakatan mayoritas kaum muslimin pada suatu tempat dan suatu zaman tertentu terhadap masalah-masalah bersama yang mereka hadapi dengan berpegang kepada asas-asas doktrin di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Menurut Natsir, konsep ijtihad dan ijma’ jika dihubungkan dengan konsep syura yang disebutkan di dalam al-Qur’an, dapat diwujudkan ke dalam bentuk sebuah parlemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh seluruh rakyat. Mereka yang menerima amanah dari seluruh rakyat itu, dengan berpegang kepada asas-asas doktrin, dapat membuat berbagai kebijaksanaan politik hukum, dan keputusan politik lainnya berdasarkan keputusan-keputusan suara mayoritas.
Pandangannya ini didasarkan pada salah satu hadits Nabi Muhammad yang terkenal di kalangan kaum modernis, yaitu “umat ku selamanya tidak akan pernah bersepakat di dalam kesalahan”.
Dengan alasan ini, pemikiran modernisme Islam yang dianut Natsir, memang mempunyai kesamaan-kesamaan dengan tokoh-tokoh modernisme yang lain, baik tokoh-tokoh pendahulunya seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim, maupun tokoh-tokoh modernis Muslim di negeri lain seperti Mohammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah di India (dan kemudian, Pakistan).
Dengan cara melakukan adaptasi antara asas-asas doktrin sosial dan politik Islam dengan gagasan-gagasan modern mengenai demokrasi di negeri-negeri Barat itu sebagai suatu contoh, dapat dimengerti berbagai ucapan Natsir, bahwa “sorang Muslim tidak perlu menjadi seorang sekular terlebih dahulu, untuk menjadi orang modern.” Dia memang yakin bahwa asas-asas Islam itu, jika ditafsirkan dengan cara wajar, akan membawa kaum Muslimin kepada kemodernan tanpa harus terjerumus kepada westernisme dan sekularisme.
Namun corak pemikiran adapatif dan akulturatif dengan kemodernan itu bukannya tanpa resiko dan tanpa kesulitan untuk menjalankannya di dalam sebuah masyarakat Muslim. Bagi kelompok fundamentalis, pemikiran politik kaum modernis hampir tidak banyak bedanya dengan pemikiran-pemikiran sekular. Modernisme politik Islam hanyalah membungkus gagasan-gagasan politik Barat dengan baju Islam yang pada intinya tetap sekular, dan tidak “orisinal” berasal dari Islam.
Resiko itu – seperti dikritik kelompok fundamentalis diantaranya ialah, demokrasi yang bercorak akulturatif itu, akan mudah membawa kepada liberalisme tanpa menjadikan asas-asas doktrin sebagai pedoman dalam membuat keputusan-keputusan politik, namun semata-mata berasas kepada kekuatan politik golongan mayoritas. Kesukaran pelaksanaannya ialah terdapatnya kebebasan bagi rakyat untuk membentuk partai-partai politik berdasarkan ideologi-ideologi yang berbeda.
Ini memang konsekuensi yang wajar dari sistem demokrasi yang juga disokong oleh Natsir. Kebebasan membentuk partai-partai itu, adalah seperti realitas Indonesia sendiri di masa itu, di mana terdapat partai berideologi Islam, Nasionalisme Sekular, Komunis, Sosialis serta partai-partai berasaskan agama-agama lain seperti Partai Katolik dan Partai Kristen.
Bagaimanakah caranya partai-partai dengan ideologi yang berbeda itu akan sudi untuk berpedoman kepada asas-asas doktrin politik Islam dalam membuat keputusan-keputusan politik? Natsir memang tidak memberikan jalan keluar dari kesulitan ini, sebagaimana juga tokoh-tokoh modernis yang lain seperti Iqbal dan Ali Jinnah.
Sebagaimana seorang politikus yang menjadi ketua sebuah partai politik Islam, dan seorang pemegang kekuasaan politik, atau bahkan dalam kedudukannya sebagai seorang opsisi, Natsir seringkali terpaksa harus berkompromi dengan realitas politik yang dihadapinya atau juga, kadang-kadang ia terpaksa harus mengemukakan suatu pendirian politik yang dilatarbelakangi oleh kekhawatiran-kekhawatiran tertentu.
Di samping soal keyakinan Natsir terhadap kebaikan-kebaikan sistem demokrasi yang dilihatnya juga sebagai suatu sistem yang sejalan dengan kesadaran batin manusia, pembelaan Natsir terhadap demokrasi dilatarbelakangi juga oleh kekhawatirannya terhadap kemungkinan munculnya diktatorisme di Indonesia, baik oleh Soekarno yang ketika itu menjadi Presiden konstitusional, atau pun juga oleh golongan komunis yang memang merupakan saingan utama, bahkan musuh utama Partai Masyumi yang dipimpin oleh Natsir.
Secara pribadi Natsir adalah anti komunis yang tegas. Ini memang mendapat dorongan dari keyakinan keagamaan yang dianutnya. Sikap anti-komunismenya itu tampak dari berbagai kecaman yang dilontarkannya kepada PKI. Ia seakan-akan tidak mengenal henti mengingatkan rakyat terhadap bahaya komunisme. Ia mengingatkan rakyat terhadap kemungkinan munculnya kediktatoran yang akan berjalan jika golongan komunis diberi kesempatan memegang kekuasaan politik. Peringatan seperti itu telah dilontarkannya jauh-jauh hari sebelum kebanyakan pemimpin politik dan militer Indonesia akhirnya komunisme setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Kekhawatiran terhadap kemungkinan Soekarno menjadi diktator dengan sokongan golongan komunis, yang pada akhirnya akan menguntungkan golongan yang disebutkan terakhir ini, menjadi sebab utama oposisi Natsir terhadap gagasan “demokrasi terpimpin” yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957. ketika Soekarno mulai mengecam sistem “demokrasi liberal” yang diimpor dari Barat dan ternyata, menurutnya tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Timur.
Demokrasi Timur menurut Soekarno tidak mengenal adanya “oposisi”, karena semua golongan di dalam masyarakat adalah ibarat sebuah keluarga yang “alle leden de familie aan tafel, aan de eettafel, en aan de werktafel” (Semua keluarga diajak menghadap meja yang sama, maka di meja makan yang sama, dan bekerja di meja kerja yang sama pula). Demokrasi seperti itu kata Soekarno adalah demokrasi bangsa Timur, yaitu demokrasi gotong royong berasaskan prinsip kekeluargaan. Belakangan Soekarno memberi nama demokrasi terpimpin, yaitu demokrasi yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Natsir menentang keras gagasan demokrasi terpimpin yang dikemukakan oleh Soekarno itu, apalagi Soekarno kemudian mengemukakan niatnya untuk “membubarkan” partai-partai politk sebagai bagian integral dari aplikasi demokrasi terpimpin yang tidak mengenal oposisi itu. Demokrasi, kata Natsir, selamanya harus menjamin kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan menyatakan sikap tidak setuju secara terbuka dan jujur tanpa rasa takut dan khawatir.
Jadi, selama ada demokrasi, selama itu pula oposisi akan tetap ada. Demokrasi dengan pengakuan kebebasan menyatakan pendapat itu, menurut Natsir, adalah bersifat universal. Sebab itu, dia tidak melihat adanya apa yang disebut oleh Soekarno sebagai “demokrasi terpimpin” atau “demokrasi timur”, karena apa yang ada di dunia ini, menurut Natsir, hanyalah demokrasi atau bukan demokrasi. Jadi demokrasi terpimpin menurut yang tidak mengenal perbedaaan pendapat dan oposisi itu adalah bukan demokrasi. Kalau demikian, kata Natsir, demokrasi terpimpin tidak lain adalah sistem diktator.
Selama ada demokrasi, menurut Natsir, selama itu pula partai-partai akan tetap ada. Jika partai-partai itu sampai dikuburkan, maka yang akan tegak berdiri di atas kuburan itu tidak lain adalah sebuah batu nisan kediktatoran. Natsir menurut Yusril bukannya tidak menyadari adanya sisi lemah dari demokrasi itu sendiri.
Namun dengan mengutip pendapat Radakhrisnan, ia mengatakan bahwa sampai dengan perkembangan peradaban yang mutakhir, manusia belum menemukan adanya sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Walaupun mempunyai sisi-sisi kelemahan, demokrasi menurut Natsir, adalah jauh lebih baik dari sistem dikatator, walaupun proses demokratis sering terkesan lamban dan tampak kurang heroik. Demokrasi, tambah Natsir, memungkinkan dicapainya perubahan-perubahan revolusioner melalui sebuah proses yang damai.
Tampak jelas sekali kekhawatiran Natsir terhadap kemungkinan Soekarno akan menjadi diktator dengan demokrasi terpimpin yang tidak mengenal oposisi itu. Kekhawatiran yang lain, yang tidak kalah pentingnya, ialah dengan penerapan demokrasi terpimpin itu, berarti golongan komunis juga akan ikut di dalam kabinet “gotong royong” yang menganggap semua golongan sebagai satu keluarga. Bagi Natsir gagasan Soekarno ini adalah gagasan absurd, karena bagi golongan Islam yang diwakili Natsir, golongan komunis disebutnya sebagai srigala berbulu domba yang hendak dimasukkan oleh Presiden Soekarno ke dalam satu kandang bersama-sama hewan ternak yang lain.
Sumber bacaan:
- Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Mohammad Natsir, (Islamika No.3, Januari-Maret 1994)
- Mohammad Natsir, Capita Selecta 2; dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Puistaka Pendis, 1954-1957)
- Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Bandung : NV Penerbitan W. Van Houve, S-Gravenhage)
- Mohammad Natsir, Toleransi Dalam Islam, dalam Herbert Feith & Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988)
- Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, cet. II, (Bandung; Mizan, 2000)
- Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm 68. lihat juga Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,
- Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,
- Capita Selecta, Artikel “Islam dan Demokrasi”, Kemalisten di Indonesia,
- Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm 72. Lihat juga Mohammad Natsir, Memulihkan Kepercayaan Terhadap Demokrasi (1956) dalam Herbert Feith dan Lances Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia, (Jakarta; LP3ES, 1988)
Diskusi tentang post ini