Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Muhammad Zuhri, Menggores Pena ke Dalam Hati

Redaksi
×

Muhammad Zuhri, Menggores Pena ke Dalam Hati

Sebarkan artikel ini

Saya terkejut. Benar-benar saya tak menyangka. Laki-laki di hadapan saya itu langsung berujar berkaitan materi diskusi yang mestinya disampaikan satu Minggu kemudian. Dia membuka omongan tentang manusia. Tentang hakikat manusia. Padahal surat permohonan belum saya sampaikan. Serius, belum ada pemberitahuan dari pihak panitia. Apalagi saat itu teknologi komunikasi belum selancar sekarang.

“Mengapa semua itu jadi mungkin bagi manusia? Kenapa? Kamu tahu?” Saya menggeleng. Dia melanjutkan, “Karena manusia menerima amanat perwakilan dari Tuhan. Manusia menerima tiupan kuasa Tuhan, sehingga bebas berkehendak.”

Dia diam sejenak. Suasana hening. Saya juga larut dalam keheningan. Saya sama sekali tak memahami arah pembicaraannya.

“Setiap individu mendapatkan kebebasan dan akan dimintai pertanggungjawaban sejauhmana sanggup memerankan amanat itu. Amanat untuk menegakkan rahmat bagi seluruh alam. Nah, jika iradah nafsiah lebih mendominasi gerak langkah manusia, maka ia akan condong menggunakan kebebasan sepenuh hati dan menangguhkan tanggung jawab.”

“Sebenarnya,” laki-laki di hadapan saya itu masih terus melanjutkan, “umat manusia  bukanlah penduduk bumi dan bukan pula penduduk dari langit. Namun mereka datang untuk mengurusi dalam sementara waktu. Umat manusia hadir sebagai manifestasi kehendak Tuhan untuk mewakilkan kekuasaan-Nya di muka bumi.

Maka diperintahkan seluruh malaikat, penduduk langit, bersujud kepada manusia. Begitu pula sungai-sungai, matahari, bulan, siang dan malam, diciptakan untuk tunduk dan melayani kebutuhan manusia dalam kemanajeran-Nya.”

Muhammad Zuhri kembali terdiam. Dia memungut sebatang rokok dan menyulutnya dengan korek api. Dia mengisap rokok. Asap mengepul memenuhi ruangan mungil itu. Saya terdiam. Masih bingung, tak memahami sepenuhnya apa yang dia paparkan. Sebuah khazanah baru buat saya.

“Segala sesuatu yang kita temukan dari kerajaan bumi merupakan santapan nafsu. Sementara yang kita dapatkan di kerajaan langit adalah santapan akal budi. Semua itu hanyalah wilayah kemanajeran yang diamanatkan kepada kita dan bukan tempat kita pulang. Lantaran kita lahir dari ide Tuhan, maka akhir tujuan kita pun adalah ke pangkuan-Nya.

Dengan demikian, hak kita hanyalah memungut sekadar perbekalan, mengenal petanya dengan baik dan melintasinya tanpa meninggalkan jejak kerusakan. Sedangkan kewajiban kita adalah mengatur dengan segenap kreatifitas, agar menjadi lebih baik dan memudahkan para penempuh lain untuk melintasinya. Menjaga kesucian, juga kelestarian.”