Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Muhammad Zuhri, Menggores Pena ke Dalam Hati

Redaksi
×

Muhammad Zuhri, Menggores Pena ke Dalam Hati

Sebarkan artikel ini

LUMAYAN lama saya mengenalnya. Awal berjumpa tahun 1999. Saat itu saya terjebak dalam kegiatan HMI. Entahlah saya tidak tahu persis alasan teman-teman panitia mendaulat saya bertandang ke rumah dia. Barangkali karena masih culun, kurang pergaulan, maka saya harus mengantar surat permohonan kepadanya sebagai pembicara tunggal untuk acara diskusi. Ya, saya bertolak ke Pati sendirian.

Bermodal secarik kertas yang bertuliskan alamat rumahnya, saya naik bus ekonomi ke Kota Pati. Turun Puri, Kota Pati, kemudian ganti naik bus mini arah Tayu. Benar, saya sama sekali belum mengetahui rupa dia. Muhammad Zuhri, itulah nama pembicara yang dimaksud teman-teman. Orang macam apa dia? Bagaimana tanggapannya saat mengetahui saya yang menjadi kurir surat? Bagaimana saya nanti? Ya, macam-macam pertanyaan menggelayuti dan terus meneror benak.

Ah, ternyata tidak begitu sulit saya menemukan rumahnya. Sebuah rumah mungil berhalaman luas berada di belakang Pasar Bulumanis, Desa Sekarjalak, Margoyoso, Pati. Dan, bermacam tanaman menghias taman yang menghampar persis depan pintu rumahnya. Saat saya berdiri di ambang pintu, dua orang laki-laki tua sedang berbincang di ruangan tamu.

Saya ketahui kemudian, mereka adalah sang tuan rumah, Muhammad Zuhri, dan tamunya, seorang guru besar ilmu tasawuf IAIN Walisongo, Semarang. Saya menunggu di luar. Duduk di kursi di bawah pohon Asam, tepat di pojok kiri rumahnya. Sesaat saya menikmati embusan angin sepoi-sepoi. Mata lurus menatap bunga warna-warni. Batu kerikil tertata apik mengelilingi petak taman.

Sungguh, betapa melenakan tiupan angin saat itu. Berkali-kali saya menguap. Saya nyaris terlelap. Syukurlah saya masih sanggup menahan kantuk yang terus meruyak.

“Ayo masuk!” suara lembut tiba-tiba membuat saya terperanjat. O, itu rupa Muhammad Zuhri, batin saya.  Sosok tua dengan sorot mata teduh, berdiri di beranda rumah dan mengulas senyum kepada saya. Saya mengangguk. Saya bergegas masuk ke dalam rumahnya. Si tamu, yang saya ketahui kemudian sebagai guru besar, itu masih di situ. Namun, tak berapa lama ia pun pamit.

“Maaf menunggu lama!” Muhammad Zuhri membuka omongan. Duh, sejuknya. Saya merasa hawa teduh saat duduk di atas kursi ruang tamunya. Inikah rasanya duduk di dekat seorang sufi? Ah, entahlah. Kami duduk berhadapan.

Nggak apa-apa, Pak Muh. Malahan saya yang harus minta maaf. Siang-siang mampir ke sini.”

“He-he-he….” dia tertawa renyah. “Manusia adalah makhluk yang sangat terampil menentukan identitas dirinya, sehingga mampu keluar dari fitrahnya. Dia dapat turun lebih rendah dari seekor binatang sampai setan malu melihatnya. Dia sanggup juga membubung ke langit ketinggian, sehingga para malaikat tunduk padanya.”

Saya terkejut. Benar-benar saya tak menyangka. Laki-laki di hadapan saya itu langsung berujar berkaitan materi diskusi yang mestinya disampaikan satu Minggu kemudian. Dia membuka omongan tentang manusia. Tentang hakikat manusia. Padahal surat permohonan belum saya sampaikan. Serius, belum ada pemberitahuan dari pihak panitia. Apalagi saat itu teknologi komunikasi belum selancar sekarang.

“Mengapa semua itu jadi mungkin bagi manusia? Kenapa? Kamu tahu?” Saya menggeleng. Dia melanjutkan, “Karena manusia menerima amanat perwakilan dari Tuhan. Manusia menerima tiupan kuasa Tuhan, sehingga bebas berkehendak.”

Dia diam sejenak. Suasana hening. Saya juga larut dalam keheningan. Saya sama sekali tak memahami arah pembicaraannya.

“Setiap individu mendapatkan kebebasan dan akan dimintai pertanggungjawaban sejauhmana sanggup memerankan amanat itu. Amanat untuk menegakkan rahmat bagi seluruh alam. Nah, jika iradah nafsiah lebih mendominasi gerak langkah manusia, maka ia akan condong menggunakan kebebasan sepenuh hati dan menangguhkan tanggung jawab.”