BARISAN.CO – Jika mendefinisikan generasi milenial dari kacamata buku Nasionalisme Ala Milenial karya Peneliti LIPI Aulia Hadi adalah mereka yang lahir pada era 80 dan 90-an.
Mereka termasuk ke dalam golongan yang pertama kali terpapar teknologi dan lebih banyak berinteraksi dengan teknologi informasi, serta komunikasi dengan generasi sebelumnya.
Generasi milenial dalam mengekspresikan nasionalismenya menggunakan metode modifikasi agar digemari oleh generasi milenial yang lain. Contohnya budaya batik yang dimodifikasi menjadi lebih modis dan trendi untuk menarik perhatian anak muda.
“Media sosial juga dijadikan wadah untuk memopulerkan nasionalisme digunakan untuk menguatkan citra dari nasonalisme yang dimodifikasi melalui ke arah budaya populer,” kata Aulia pada Serial Webinar Musyawarah Indonesia “Meneguhkan Jiwa Bangsa pada Generasi Digital”, Kamis (12/8/2021).
Di era abad 21 yang bersinggungan dengan masa pandemik ini, banyak terwujud diskursus yang diciptakan oleh negara yakni nasionalisme masih seputar ancaman terhadap asing dan martabat bangsa.
Akibatnya, banyak tantangan yang dihadapi oleh generasi milenial saat ini. Pertama terkait pendidikan dan bahasa. Menurutnya pendidikan merupakan pilar penting bagi rakyat Indonesia untuk menanamkan rasiona nasionalisme sejak dini.
Jika sejak kecil generasi milenial telah ditanamkan ideologi yang salah mengenai nasionalisme, dikhawatirkan akan menjadi bibit ancaman baru yang dapat merusak ketentraman pada masyarakat.
Seharusnya dalam mengajarkan materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus lebih banyak praktiknya. Sehingga kita bisa menghargai keberagaman yang ada di Indonesia, bukan hanya sekadar Indonesia Bhineka Tunggal Ika dari Sabang sampai Merauke.
“Kita mempunyai kebudayaan yang beragam dan bahasa daerah yang berbeda tapi mungkin perlu diperhatikan, perlu adanya suatu forum kepada siswa dalam pembelajaran bukan hanya materi teks, tetapi juga memberikan pengalaman bagi mereka misalnya tinggal di homestay dengan orang yang berbeda agama atau mungkin berbeda etnis. Karena perbedaan itu dapat menghilangkan stereotipe pada masyarakat,” ungkap Mahasiswa Doktoral University Of Glasgow itu.
Kedua, adanya pergeseran otoritas agama, di mana seseorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama mengakses informasi mengenai agama, namun tidak melakukan riset yang cukup. Dampaknya dapat menyebabkan orang tersebut masuk ke ranah radikalisme.
“Nasionalisme perlu dijadikan pondasi untuk mengekspresikan atau mempraktikkan kewarganegaraan dalam konteks sehari-hari. Artinya, apakah nanti kita terlibat dalam politik keseharian atau partier,” ujarnya.
“Meskipun generasi sudah berubah, nasionalisme sendiri ternyata tidak sepenuhnya berubah. Bisa jadi perubahan itu dibawa oleh karakter mereka yang lebih mengenal teknologi dibanding generasi sebelumnya. Tetapi memori mengenai sejarah kurang lebih masih sama. Kita harus membangun suatu wacana bahwa nasionalisme bukan hanya sekadar ancaman asing atau martabat bangsa, tetapi bagaimana kita menempatkan diri dalam satu konstelasi global,” sambung Aulia. []