Scroll untuk baca artikel
Blog

Nasionalisme dan Patriotisme Istri-Istri TNI-Polri

Redaksi
×

Nasionalisme dan Patriotisme Istri-Istri TNI-Polri

Sebarkan artikel ini

Meskipun hanya muncul dari kegelisahan istri-istri TNI-Polri dalam grup WhatsApp. Tidaklah bisa dianggap enteng dan layak diapresiasi, karena benih-benih kesadaran sebagai refleksi dan evaluasi terhadap krisis kebangsaan itu kini mulai tumbuh di tubuh keluarga TNI-Polri.

KARENA dibalik kehebatan para pemimpin, sesungguhnya ada kekuatan sang istri. Nasionalisme dan patriotisme pada TNI-Polri yang selama ini mati suri, seakan bangkit lewat para istri sang belahan jiwa dan tambatan hati.

Untuk kesekian kalinya, presiden mempermalukan dirinya sendiri di hadapan publik. Setelah banyak pidato kampanye dan janji politik yang diingkari, tanpa sadar ia mengungkap ada aroma menentang kebijakan IKN dari lingkaran TNI-Polri. Meski terlontar dari para istri TNI-Polri dan hanya melalui WhatsApp (WA) grup.

Fenomena ini menunjukkan, sejatinya seorang presiden tak bisa menguasai segalanya dan tak bisa mengatur semuanya. Tidak di setiap tempat, tidak dalam setiap waktu dan bahkan tidak pada setiap orang. Betapapun seorang presiden menjadi panglima tertinggi TNI dan menjadi orang nomor satu yang berkuasa di negeri ini.

Dengan narasi tidak membangun kedisiplinan dari yang kecil dan dari yang sederhana yang ditujukan kepada TNI-Polri. Pidato kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI Jakarta pada Selasa 1 Maret 2022, yang menyinggung adanya ketidaksetujuan IKN dari para istri anggota TNI-Polri.

Pada prinsipnya, membuktikan presiden tak akan bisa memaksakan kebijakan politiknya kepada rakyat, termasuk kepada anggota TNI-Polri beserta keluarganya. Apalagi jika keputusan presiden tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, demokrasi dan kedaulatan serta eksistensi negara ke depannya. Presiden seperti mengalami apa yang diungkap pepatah “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.

Cukilanan sambutan presiden di hadapan petinggi TNI-Polri itu, bukan hanya membuktikan ia tidak dihargai dan dihormati oleh para isteri TNI-Polri yang tidak menyetujui pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Lebih dari itu, menunjukkan betapa banyak kelemahan dan tidak berwibawanya seorang presiden bahkan di lingkungan terdekatnya. Selain korupsi dan kejahatan negara lainnya yang marak mengelilinginya.

Sebelumnya perilaku presiden sering menjadi bahan ejekan dan olok-olokan rakyat yang pidatonya tidak mencerminkan satunya kata dengan perbuatan. Dengan kata lain rakyat menilai kampanye dan janji politik presiden lebih banyak menghasilkan kebohongan publik.

Belum lama juga seorang menteri koordinator yang tidak respek dan beretika ketika berbicara di hp saat presiden sedang berpidato, sebuah peristiwa langka yang memalukan dan merendahkan presiden yang ditonton rakyat. Sudah tak terhitung seringnya peristiwa yang menegaskan betapa presiden tak mampu menjadi orang yang bisa dijunjung serta diteladani karena tidak memiliki kecerdasan dan ketegasan. Publik terlanjur menilai, presiden boneka dan planga-plongo, pula.

TNI-Polri Sebagai Alat negara, Bukan Alat Kekuasaan

Ketika salah satu isi pidato presiden, membuncah ekspresi kekecewaan pada para istri TNI-Polri karena tidak mendukung IKN, padahal UU pemindahan ibu kota negara itu sudah disetujui pemerintah dan DPR, sebagaimana kilah presiden. Sesungguhnya, presiden yang belum usai periode keduanya itu, secara tidak langsung mengungkit keraguan UU IKN baik dari sisi legalitas maupun legitimasinya.

Seperti menghangatkan kembali polemik dan kontroversi soal IKN yang berkepanjangan bahkan sebelum ditetapkan menjadi UU hingga saat ini.

Pertama, dengan gelombang demonstrasi dan tuntutan penolakan hampir semua kebijakan presiden di periode keduanya. Membuktikan langkah-langkah ekonomi, politik, dan hukum yang dijalankan presiden bukan hanya tidak populis, tapi memiliki resistensi luas dan menyengsarakan kehidupan rakyat diberbagai sektor penting dan strategis.