Scroll untuk baca artikel
Blog

Negara Akhlak

Redaksi
×

Negara Akhlak

Sebarkan artikel ini
Oleh: Syaiful Rozak

Kami rasa dalam negara Pancasila, akhlak itu lebih tinggi dari pada hukum. Sebab dalam negara akhlak itu tiada bertentangan dengan norma-norma agama dan juga Pancasila. Akhlak dituntun oleh nilai-nilai agama.

Siapa memegang prinsip moralitas dalam hidup tak akan melanggar hukum, sebaliknya hukum tanpa dituntun oleh akhlak akan kehilangan nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Negara akhlak barangkali bisa bersanding dengan negara hukum atau sebagai alternatif untuk menjawab masalah-masalah kebangsaan.

Di dalam negara hukum, segala penyelenggaraan negara harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Kehidupan masyarakat diatur sedemikian rupa oleh hukum. Orang bisa menjadi takut berbuat sesuatu bukan karena itu melanggar norma-norma, melainkan karena terbentur oleh teks undang-undang.

Padahal norma-norma kebaikan itu lebih penting dari pada sekedar teks undang-undang. Kehidupan bernegara direduksi seolah berjalan menjadi hubungan antar hukum, bukan hubungan antar cinta dan akhlak.

Kami mengandaikan kehidupan dalam sebuah keluarga. Bila hubungan anak dengan orang tua harus didasarkan pada aturan hukum semata, maka akan menjadi kacau balau. Untungnya para orang tua kita lebih mengutamakan hubungan cinta dan akhlak dari pada hukum. Bayangkan bila hubungannya adalah murni hukum.

Ada berapa orang tua yang akan memidanakan anaknya, dan berapa orang tua yang akan dipidanakan anaknya. Anak mencuri uang orang tua, dipidana. Anak menyakiti orang tua di pidana. Sebaliknya orang tua yang mencuri uang anaknya bisa dipidanakan. Padahal kalau merujuk pada aturan hukum, kasus pencurian itu bisa dipidanakan, tetapi orang tua kita lebih memilih pendekatan akhlak, yaitu dengan cara memaafkan. Bukankah ini jauh lebih indah dan menyenangkan.

Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa kami membenarkan perbuatan mencuri. Secara hukum itu jelas melanggar apalagi secara akhlak. Aturan hukum tetap diperlukan, sebab jika tidak, maka tak akan ada efek jera bagi pelaku kejahatan, hanya saja dalam berhukum perlu adanya tuntutan akhlak. Tidak semua kasus pelanggaran ringan harus diselesaikan dengan hukum, tetapi bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Dalam pelaksanaannya, hukum tidak banyak menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum bukannya membawa kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, melainkan mengecewakan.

Hal itu terjadi karena hukum masih dijalankan dengan berat sebelah, tidak adil. Kakek Sarimin (68) di Sumatra Utara di vonis penjara 2 bulan 4 hari oleh pengadilan Simalungun karena mencuri sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone. Nenek Saulina (92) Sumatra Utara di vonis hukuman 1 bulan 14 hari oleh hakim pengadilan Negeri Balige, Toba Samosir dalam kasus menebang pohon durian berdiameter 5 inchi milik kerabatnya sendiri karena ingin membangun makam leluhurnya.

Nenek Asyani (70) di Situbondo terancam hukuman 15 tahun hanya karena mencuri 7 kayu jati milik Perhutani. Dan nenek Minah (55) di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah terancam hukuman 6 bulan penjara karena kasus pencurian 3 buah kakao dari PT RSA senilai Rp. 2.000.

Kasus diatas sebenarnya tak perlu diseret dalam ranah hukum, cukup diselesaikan secara akhlak, yaitu dimaafkan. Kasus ditutup dan selesai. Lagian pihak pelaku juga sudah minta maaf.

Hukuman yang dijatuhkan juga tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Ini bisa melukai hati nurani dan mengusik rasa keadilan. Wibawa peradilan hanya untuk orang lemah. Penegak hukum, disini polisi juga berhak menolak laporan itu karena pertimbangan nurani dan kemanusiaan.