Nenek Asyani (70) di Situbondo terancam hukuman 15 tahun hanya karena mencuri 7 kayu jati milik Perhutani. Dan nenek Minah (55) di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah terancam hukuman 6 bulan penjara karena kasus pencurian 3 buah kakao dari PT RSA senilai Rp. 2.000.
Kasus diatas sebenarnya tak perlu diseret dalam ranah hukum, cukup diselesaikan secara akhlak, yaitu dimaafkan. Kasus ditutup dan selesai. Lagian pihak pelaku juga sudah minta maaf.
Hukuman yang dijatuhkan juga tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Ini bisa melukai hati nurani dan mengusik rasa keadilan. Wibawa peradilan hanya untuk orang lemah. Penegak hukum, disini polisi juga berhak menolak laporan itu karena pertimbangan nurani dan kemanusiaan.
Ini bukan dalam rangka untuk membela perbuatan pencurian, secara hukum pencurian itu tidak dibenarkan, tetapi pelaksanaan hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan itu bisa bertentangan dengan semangat hukum itu sendiri. Disini negara akhlak bisa menjadi alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut.
Negara hukum mengharuskan warga negaranya untuk taat pada hukum, negara akhlak mengharuskan warganya untuk setia pada nilai-nilai kebaikan. Hukum bisa dibeli, tetapi akhlak tidak bisa.
Negara hukum fokus pada penindakan pelaku kejahatan, negara akhlak fokus pada pencegahan kejahatan. Dalam negara hukum orang tidak melakukan kejahatan karena takut ancaman pidana, dalam negara akhlak orang tidak melakukan kejahatan karena kesadaran.
Dalam negara akhlak setiap warga negara bisa hidup secara berdampingan dengan prinsip-prinsip moralitas berdasarkan ajaran agamanya masing-masing. Negara akhlak tetap membutuhkan hukum untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara berhukumnya tidak dilepaskan dari akhlak, melainkan dituntun oleh prinsip-prinsip moralitas.
*Syaiful Rozak, Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Kudus