Betul, saat begini ini, saya sungguh merindukan kembali halaqoh yang mempercakapkan Islam dalam dimensinya yang tinggi. Islam yang tetap ditegakkan di atas landasan syariat, tapi digali maknanya secara dalam, amat dalam. Islam yang elegan tapi bisa nyaring menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis dari para filsuf. Tanpa sedikit pun emosi atau melecehkan sendi-sendi agama.
Saya rindu benar kepada Muhammad Zuhri, karena jujur saya masih suka terbawa emosi kala menanggapi serangan dari para peragu agama. Saya juga kurang sabar saat meladeni para pengumbar kata “kafir” dan kalimat takbir. Saya kangen tiada tara dengan metode takwilnya atas ayat-ayat Al-Quran, yang kiranya dapat membendung arus ateistis dewasa ini. Ia menawarkan konsep, yang sanggup membuktikan bahwa Islam masih dan akan terus relevan dengan situasi hingga akhir zaman.
Benar-benar, wawasan kesufian Muhammad Zuhri ternyata sungguh terdepan untuk kurun abad kini. Masih jelas di benak, waktu itu, sembari bertelekan di atas tikar plastik, ia melayani obrolan hingga larut dini hari. Di sela canda tawa kami yang acap kurang adab, ia mengupas nilai yang belum dipecahkan oleh para reformer macam Rasyid Ridha dan Ahmad Dahlan.
Ia mengutarakan “kebenaran kontekstual”, yakni ayat Allah yang diinformasikan lewat aktualisasi diri seorang arif billah.
Lalu, ia mengingatkan, “Duhai, sungguh, milik-Nya-lah segala penciptaan dan segala perintah,” (Al-A’raf: 54). “Niscaya terbit kebenaran kontekstual.”