Oleh: Awalil Rizky, Ekonom
Dampak buruk dari pandemi terhadap kondisi perekonomian nasional dirasakan oleh hampir seluruh pelaku ekonomi. Tidak terkecuali pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kinerja banyak BUMN memburuk drastis pada tahun 2020.
Pemerintah berupaya membantunya. Atara lain dengan alokasi dana untuk Penyertaan Modal Negara (PMN), investasi pemerintah, pemberian pinjaman, dan membayar premi penjaminan. Masalahnya, Pemerintah sendiri sedang kesulitan keuangan. Pendapatan negara turun tajam, sedangkan belanja bertambah, sehingga makin menambah kebutuhan berutang.
Ada beberapa aspek yang perlu dicermati dalam hal bantuan Pemerintah kepada BUMN. Pertama, BUMN mana saja yang mendesak untuk dibantu. Dengan keterbatasan keuangan Pemerintah, yang hanya mengandalkan utang untuk tambahan pengeluaran, maka tidak mungkin membantu semua BUMN secara bersamaan.
Urgensi bantuan kepada tiap BUMN harusnya memiliki kejelasan alasan dan sasaran. Apakah jika tidak segera dibantu, akan kesulitan beroperasi atau bahkan bangkrut. Bisa pula dikaitkan dengan ketersediaan produknya yang merupakan layanan publik yang bersifat vital atau esensial.
Ada beberapa BUMN yang dibantu dengan narasi kebijakan untuk memperkuatnya dalam rangka penugasan menangani pandemi dan mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Misalnya, ditugaskan untuk meningkatkan akses kredit bagi usaha mikro dan kecil (UMK), atau meringankan beban biaya kreditnya. Dalam contoh ini mesti cukup jelas sasaran dan target serta dampak langsungnya bagi UMK, bukan hanya sekadar peningkatan kapasitas BUMN yang bersangkutan.
Kedua, mesti dipertimbangkan rasa keadilan antar pelaku ekonomi, termasuk urgensi bantuan kepada pihak selain BUMN. Terutama terkait bantuan kepada UMKM, yang justeru disebut sejak awal pandemi merupakan prioritas Pemerintah. Presiden Jokowi bahkan merasa perlu memberi penekanan prioritas ini serta arahan khusus tentangnya setahun lalu.
Pada program PEN 2020, realisasi anggaran untuk klaster dukungan kepada UMKM mencapai Rp112 triliun atau 96,53% dari yang dialokasikan. Namun dilihat dari sisi pelaku UMKM, dukungan lebih bersifat tidak langsung. Sebagian besar terkait kemudahan mengakses kredit, keringanan biaya kredit, dan pengurangan pajak. Bantuan yang langsung dirasakan berupa bantuan tunai sebesar Rp2,4 juta per pelaku usaha mikro, dengan nilai total mencapai Rp28,65 triliun untuk sekitar 12 juta pelaku.
Bantuan Bagi Pelaku Usaha Mikro kembali dialokasikan pada APBN 2021. Namun nilai bantuan per pelakunya turun menjadi hanya Rp1,2 juta. Alokasinya sebesar Rp15,36 triliun untuk 12,8 juta pelaku. Pemerintah antara lain beralasan UMKM telah memperoleh bantuan dari berbagai skema lainnya, seperti skema perlindungan sosial, yang dianggap telah menjangkau mereka juga.
Bagaimanapun, terkait rasa keadilan dan urgensi bantuan, arah dan skema kebijakan ini perlu dikaji ulang dan dikomunikasikan secara baik kepada publik. Bahkan, menimbulkan pertanyaan ketika pada tahun 2021 yang sedang berjalan, klaster dukungan UMKM dan klaster dukungan korporasi dijadikan satu.
Klaster dukungan UMKM dan korporasi pada 2021 dialokasikan sebesar Rp161,20 triliun. Sedikit lebih kecil dari penjumlahan kedua klaster pada realisasi 2020 yang mencapai Rp173 triliun. Dan sejauh berbagai penjelasan hingga kini, alokasi untuk korporasi akan bernilai lebih besar. Pelaku dengan alokasi terbesar dari dukungan korporasi dimaksud adalah BUMN.
Ketiga, perlu perlakuan yang lebih berhati-hati atas BUMN yang sebenarnya sudah dalam posisi keuangan yang sulit sebelum adanya pandemi. Jangan sampai pandemi menjadi kesempatan untuk “menyembunyikan” hal-hal buruk akibat pengelolaan sebelum pandemi.
Keempat, kejelasan antara berbagai skema bantuan Pemerintah kepada BUMN, serta prakiraan dampaknya pada pengelolaan APBN hingga tahun-tahun mendatang. Begitu pula kejelasan tentang PMN yang dianggap bagian dari anggaran PEN dan yang bukan.
Untuk melaksanakan program PEN, Pemerintah memang dikatakan dapat melakukan: a. PMN; b. Penempatan Dana; c. Investasi Pemerintah; dan/atau d. Penjaminan. Keempat skema itu bisa diberikan kepada BUMN. Payung hukumnya antara lain dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.23/2020 tanggal 9 Mei 2020, yang kemudian diubah dengan PP No. 43/2020 tanggal 4 Agustus 2020.
PMN kepada BUMN dalam rangka program PEN dilaporkan mencapai Rp19,07 triliun pada 2020. Antara lain kepada: PT Hutama Karya (Rp7,5 triliun), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Rp6 triun), PT Permodalan Nasional Madani (Rp1,5 triliun), PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Rp0,5 triliun), PT Bio Farma (Rp2 triliun), dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Rp1,57 triliun).
Realisasi PMN kepada BUMN pada 2020 yang tidak dinyatakan terkait PEN mencapai Rp12,22 triliun. Diberikan pada 5 BUMN, yaitu: PT Hutama Karya (Rp3,5 triliun), PT Perusahaan Listrik Negara (Rp5 triliun), 3. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Rp0,27 triliub), PT Permodalan Nasional Madani (Rp1 triliun), PT Sarana Multigriya Finansial (Rp1,75 triliun), PT Geo Dipa Energi (Rp0,70 triliun).
Pemerintah juga membantu BUMN dengan skema Investasi Pemerintah yang dinyatakan dalam rangka program PEN sebagai tambahan modal kerja sebesar Rp19,65 triliun pada 2020. Antara lain kepada: PT Garuda Indonesia (Rp8,5 triliun), PT Kereta Api Indonesia (Rp3,5 triliun), Perum Perumnas (Rp0,65 triliun), PT Perkebunan Nusantara III (Rp4 triliun), dan PT Krakatau Steel (Rp3 triliun).
Pada tahun 2021, skema ini tampaknya mengarah pola “memutar”. Pemerintah memperluat BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU) yang nantinya melayani BUMN untuk memperoleh dana investasi. Salah satunya adalah Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang memperoleh telah mendapat PMN sebesar Rp20 triliun pada 2020.
Dengan demikian, BUMN telah memperoleh banyak bantuan dari berbagai skema. Dalam hal skema PMN, BUMN telah dan masih akan memperoleh. Baik dikaitkan langsung dengan program PEN ataupun tidak.
Per definisi, PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal Badan Usaha Milik Negara dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.
PMN kepada BUMN mengalami peningkatan besar pada era Pemerintahan Presiden Jokowi. Antara lain dengan alasan untuk mendukung berbagai proyek prioritas nasional. Biasa disebut sebagai penugasan pada BUMN. Sempat melesat dengan nilai Rp64,5 trilun (2015) dan Rp50,5 triliun (2016). Menurun drastis pada 2017 dan 2018. Konon ceritanya antara lain karena faktor Menkeu SMI, yang kembali menjabat. Namun pada 2019, naik kembali menjadi Rp17,8 triliun.
Pada tahun 2020 meningkat lagi menjadi Rp31,29 triliun. Sebagiannya dianggap bagian anggaran PEN. Pada APBN 2021, semula direncanakan hanya sebesar Rp37,4 triliun. Namun dalam laporan semester I APBN beberapa waktu lalu disebut akan dinaikan menjadi Rp71,2 triliun. Alasannya juga sebagai bagian dari anggaran PEN.
Dalam proses penyusunan RAPBN tahun 2022, diberitakan bahwa Menteri BUMN mengusulkan PMN sebesar Rp72,44 triliun. Meski belum dipastikan, berbagai pemberitaan telah menyebut persetujuan pihak DPR.
PMN KEPADA BUMN (RP MILIAR)
Sumber data: Kemenkeu, diolah; 2021: outlook; 2022: usulan Menteri BUMN
Salah satu BUMN yang telah dan direncanakan masih akan memperoleh tambahan terbesar adalah PT. Hutama Karya. Pada periode 2015-2019, telah memperoleh PMN sebesar Rp22,30 triliun. Pada 2020, semula dialokasikan Rp3,5 triliun, dalam realisasinya menjadi Rp11 triliun. Pada 2021, semula dialokasikan Rp6,2 triliun, akan ditambah menjadi Rp25,2 triliun.
Jika rencana PMN kepada PT. Hutama Karya pada tahun 2021 direalisasikan dan kemudian usulan PMN lagi pada 2022 disetujui, maka total alokasi selama 2015-2020 sebesar Rp89,85 triliun. Merupakan BUMN yang memperoleh PMN terbanyak sepanjang sejarah APBN.
PT. Hutama Karya selama era Presiden Jokowi memang memperoleh beberapa penugasan proyek strategis nasional. Salah satu yang tampak paling membutuhkan bantuan peningkatan kelayakan finansial adalah atas proyek pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS).
Bagaimanapun, penulis berpandangan bahwa Pemerintah harus menimbang lebih cermat lagi tentang PMN kepada BUMN. Masih dimungkinkan untuk mengubah rencana tahun 2021, dan apalagi usulan untuk tahun 2022.
Pilihan kebijakan PMN dan berbagai bantuan lainnya kepada BUMN juga membutuhkan penjelasan yang lebih baik kepada publik. Kondisinya berpotensi menimbulkan berbagai prasangka dan dapat mengurangi kredibilitas Pemerintah. Kondisi pemerintah memang susah, namun jangan diperparah oleh kebijakan yang salah. [rif]
Diskusi tentang post ini