Husin yang sederhana. Perawat keutuhan kampung dari kerakusan pemodal besar. Ia tak pergi ke mana-mana. Ia tertambat di Sarongge sebagai petani yang mengusung gerakan antipestisida. Sedang Karen, sang istri, aktivis lingkungan tingkat nasional, bahkan global.
Karen adalah anggota Ksatria Pelangi, organisasi lingkungan hidup berkelas internasional. Ia mencintai Husin dan kedua putrinya. Namun toh ia tetap memiliki kemewahan sendiri sebagai aktivis lingkungan yang tak hanya berkutat di Sarongge. Ia acap kali terlibat dalam aksi perjuangan membebaskan hutan dari keserakahan kapitalis. Ia masuk pedalaman rimba di Sumatra. Kali lain hingga ke perbatasan negeri di Timor Leste.
Saya ingat banget, suatu pagi, dini hari yang sungguh dingin, Karen pamit pada Husin untuk melanjutkan perjuangan, menyelamatkan bumi. Ia menumpang kapal barang Dewi Samudra menuju Pulau Kisar.
Demikian itu Karen yang sungguh keren. Ia mobile. Berwawasan global. Pengusung ide-ide besar. Namun, tetap saja ia setia merawat cinta bersama Husin. Ya, meski acap kali bumi Tuhan ini memang belum benar-benar surga, tapi tampak Karen menganut puisi Sapardi: “Aku ingin mencintaimu dengan cara sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
Hmmmm, dini hari. Dan saung Husin itu, membetot ingatan saya akan segala ulah rakus manusia, terutama para pemilik modal besar. Sungguh benar adanya, bahwa oligarki kapital tak sepantasnya mendapat legitimasi dari agama. Demikian.