Jujur, muncul rasa jenuh setiap kali melihat sorotan kamera yang mengarah kepada walikota Surabaya, Tri Rismaharini selama pandemi ini. Bukan karena saya tak menyukai sosok beliau, namun saja terkadang komunikasi yang dilakukan olehnya cenderung lebay. Kenapa demikian? Tentu, kita masih ingat dengan video saat aksinya sujud di kaki dokter pada Juni lalu. Kala itu, Risma mengungkapkan kesulitan untuk berkomunikasi dengan RSUD dr Soetomo. Namun, pernyataan itu disangkal oleh Direktur Utama rumah sakit tersebut, Joni Wahyuhadi yang menilai bahwa hubungan antara rumah sakit dengan Pemerintah Kota Surabaya baik-baik saja.
Begitupun dengan aksinya kali ini dalam memberikan pengarahan kepada 58 pelajar SD dan SMP yang ditangkap oleh polisi saat ikut aksi demo menolak UU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020. Tak pelak membuat saya berpikir. “Apakah harus seperti ini cara memimpin?” Ya, tiap orang memiliki gaya berbeda dalam memimpin. Begitupun dengan gaya komunikasi. Namun, hal yang dilakukan oleh Risma tidak dapat dibenarkan.
Bagi saya memberi nasehat tak perlu ada sorot kamera yang memperlihatkan wajah anak-anak tersebut. Baiklah, andaikata pun Risma sudah mendapatkan ijin dari para orangtua, namun hal itu pun masih tidak dapat dibenarkan. Kenapa? Karena menasehati seseorang, tak harus mempermalukan di depan orang lain. Apalagi ini di depan orang banyak yang videonya ditonton oleh jutaan warga Indonesia.
Saya salahsatu orangtua yang tidak pernah menasehati anak di depan umum. Bagi saya itu akan mengecilkan hatinya. Penting bagi orangtua untuk menjaga perasaan anak-anak. Saya bahkan tak akan membiarkan siapapun mendengar nasehat yang saya berikan kepada anak. Itulah alasan gunanya meluangkan waktu bagi orangtua berbicara empat mata dengan anak jika ada masalah. Saya pun tidak memberikan nasehat dengan suara menggebu-gebu. Santai. Sama halnya dengan saat kami berbicara dalam keseharian.
“Lho, Bu Risma ini bukan orangtua anak-anak itu? Kok situ malah kasih nasehat seolah Bu Risma ini adalah Ibu mereka,”
Hmm, oiya ya? Bukankah kita semua adalah orangtua bagi anak kita sendiri dan orangtua bagi anak lain? Artinya begini, kita orang dewasa memiliki kewajiban (bukan dalam arti sepenuhnya) untuk mendidik anak-anak orang lain. Urusan pendidikan bukan urusan orangtua. Orangtua memang yang utama dalam melakukan pendidikan. Selanjutnya adalah guru. Kemudian, lingkungan. Karakter anak dibentuk dimulai dari dalam rumah, lalu lingkungan. Andai, ini andai lho ya! Misalnya, cara Risma memberikan pengarahan kepada anak-anak tersebut membekas hingga meninggalkan kenangan. Apa yang akan terjadi?
Ada berbagai kemungkinan. Pertama, anak tersebut akan merenungi ucapan Risma. Kedua, mereka akan mencontoh gaya Risma yang memberikan nasehat dengan suaranya yang khas dan menggunakan sorot kamera.
Lalu bagaimana sikap Risma seharusnya? Buat surat cinta. Kirimkan ke rumah anak-anak tersebut masing-masing. Jika tidak bisa? Serahkan kepada orangtuanya. Karena yang jauh lebih mengenal anak-anak itu adalah orangtuanya. Biarkan mereka mengatasinya. Lagi pula, anak-anak itu perlu diberikan kesempatan untuk bicara agar diketahui latar belakang dari tindakan mereka. Bukannya mendengarkan pengarahan dengan gaya pidato seperti itu.
Saya tidak menganggap hal yang dilakukan oleh Risma adalah bentuk sikap tegas. Ketegasan itu tidak berbentuk ucapan yang dilontarkan dengan persiapan maksimal dengan layar LCD, kamera menyala, serta tenda di dalamnya. Ketegasan itu adalah bentuk tindakan nyata yang terkadang harus disembunyikan dan hasilnya akan terlihat tanpa perlu digembar-gemborkan. []