Scroll untuk baca artikel
Blog

Otista, Bukan Sekadar Jalan

Redaksi
×

Otista, Bukan Sekadar Jalan

Sebarkan artikel ini

Sipatahoenan dilarang terbit dan pengasuhnya beberapa kali harus berhadapan dengan polisi rahasia kolonial bahkan beberapa kali kasusnya sampai ke pengadilan.

Saat Jepang menguasai Indonesia Sipatahoenan dipaksa tutup (1942). Gantinya Jepang meminta Oto Iskandar menerbitkan koran Tjahaja yang propemerintah.

Kesan yang timbul kemudian Oto Iskandar bersifat kooperatif terhadap Jepang. Namun yang terjadi sebenarnya di balik itu, ada agenda besar yang diperjuangkan Oto Iskandar, yaitu mencuri ilmu dari pemerintahan Jepang sebagai bekal untuk memerdekakan Indonesia.

Kelak sifat kooperatif ini sering menyebabkan kesalahpahaman di kalangan para pejuang Indonesia. Kecurigaan ini berlanjut hingga masa perjuangan revolusi–saat Belanda kembali menjajah Indonesia dengan mendompleng Sekutu–yang berbuntut pada penculikan dan pembunuhan Oto Iskandar di Pantai Mauk, Tangerang, 20 Desember 1945.

Dugaan yang berkembang, pembunuhan itu dilatarbelakangi kecurigaan, persaingan jabatan, hingga kepada hal-hal yang berbau primordial, seperti tarik menarik pengaruh antara kekuataan Sunda dan Jawa.

Namun hingga kini alasan pembunuhan yang sebenarnya masih gelap bersamaan dengan jasad Oto Iskandar yang tak ditemukan.

Oto Iskandar meninggal sebelum banyak mengecap kemerdekaan yang diperjuangkannya. Dia tewas sebagai martir revolusi.

Benar kata Bung Karno, seperti ditulis kembali Prof. Dr. Taufik Abdullah dalam pengantar buku ini bahwa revolusi itu mempunyai logikanya sendiri, bahkan juga mempunyai sopan santun sendiri. Revolusi tidak mengenal terimakasih. Ia tidak saja “memakan anak-anaknya” tetapi juga mendurhakai ibunya sendiri.

Tewas menjadi tumbal revolusi mungkin tak akan pernah disesali Oto Iskandar. Ini karena selagi masih hidup Oto Iskandar pernah menulis dalam koran Tjahaja yang dikelolanya, “Kalau Indonesia Merdeka boleh diteboes dengan djiwa seorang anak Indonesia, saja telah memadjoekan diri sebagai kandidat jang pertama oentoek pengorbanan ini.” (Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah mengajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan itu).

Sore itu saya melintasi Jalan Otista di Kota Bogor yang memotong Sungai Ciliwung dan bersebelahan dengan Kebun Raya Bogor. Saya hanya bisa membacakan Alfatihah.

Saya tahu itu tidak cukup dengan pengorbanan jiwanya. [rif]