Scroll untuk baca artikel
Blog

Pakar Hukum: Ditolaknya UAS, Privilege Singapura

Redaksi
×

Pakar Hukum: Ditolaknya UAS, Privilege Singapura

Sebarkan artikel ini

“Ini adalah privilege daripada sebuah pemerintah untuk mencegah orang masuk ke negaranya,”Andi W. Syahputra (Pakar Hukum)

BARISAN.CO – Kasus ditolaknya ustadz Abdul Somad dari Singapura menjadi bola panas. Masyarakat terbelah dua, ada yang pro dan kontra.

Dalam analisis Drone Emprit, pihak yang kontra menganggap deportasi tersebut sebagai penghinaan, pemerintah Singapura dituntut klarifikasi, serta negara dianggap tidak mampu melindungi warganya. Sedangkan, bagi yang pro, alasan Singapura tolak UAS karena pro ekstremisme dan segregiasionis serta ceramahnya sering merendahkan agama lain.

Masih dari analisis itu juga, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menjelaskan, hingga tanggal 20 Mei 2022, setidaknya 67 persen kontra akan kejadian tersebut dan tokoh yang kontra antara lain berasal dari berbagai latar belakang. Mulai dari DPR/MPR,DPD, perwakilan ormas, politisi, pakar, ketua MUI, pencerama, aktivis, dan rekan UAS.

Hingga saat ini, warganet, khususnya di Twitter masih membahas persoalan ini. Pakar hukum, Andi W. Syahputra mengatakan, pemerintah Singapura sudah objektif melakukan pelarangan itu.

“Pernah juga pendeta dari Amerika yang merupakan gerakan kanan ditolak. Gerakan kanan itu disimpulkan sebagai kekuatan Kristen,” kata Andi pada Barisanco, Selasa (24/5/2022).

Pada 2019, seorang pendeta Amerika bernama Lou Engle ditolak masuk Singapura karena sentimen tentang agama lain. Di tahun 2018, Lou telah berkomentar negatif tentang umat Muslim saat memberikan khotbah di Gereja Kristen di Singapura.

Namun, bukan hanya Lou yang ditolak. Mengutip News Delivers, pada September 2017, dua pastor dari luar negeri ditolak masuk Singapura. Keduanya ditolak karena telah membuat komentar yang menghina dan menyerang agama lain.

Pihak Singapura pun telah menjelaskan penolakan mereka terhadap UAS.

Menurut Andi, itu dilakukan untuk memproteksi karena warga negaranya punya ketakutan luar biasa terhadap ceramah-ceramah atau yang membawa agama dan sebagainya ini masuk ke sana.

“Singapura khawatir dengan masuknya UAS akan menimbulkan ketakutan itu,” tambah Andi.

Dia menambahkan, ini adalah privilage daripada sebuah pemerintah untuk mencegah orang masuk ke negaranya.

“Singapura punya data tentang UAS waktu sekolah, waktu dia kembali lagi, termasuk setelah pulang sekolah S3. Data ini dipasok. Kita juga tahu Singapura banyak lini-lini intelijen di sana bisa dari Mossad, SID (The Security and Intelligence Division Singapore), dan lain-lain disatukan,” lanjutnya.

Selain itu, Andi menyampaikan, dari segi Indonesia, masyarakat cenderung kurang dewasa dalam beragama.

“Kenapa? Masyarakat melihat sosok ulama apa adanya. Tanpa coba memahami dan mendalami kehidupan dari ulama tersebut,” jelasnya.

Andi mengambil contoh, sebelumnya, Yusuf Mansyur dianggap sebagai penceramah, namun ternyata itu hanya dijadikan kendaraan saja.

“Semacam orang politik menggunakan kendaraan politik. Banyak instrumen yang bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi itu juga dipakai. Buat yang dikategorikan ulama atau umat ini sebagai ulama itu padahal ada kepentingan-kepentingan pribadi,” ujarnya.

Andi menjelaskan, Indonesia tidak punya kewenangan sama sekali, apalagi pemerintah memberikan red notice ke sana atau misalnya memberikan surat diplomatik untuk mempertanyakan keputusan Singapura menolak UAS.

“Memang di Singapura punya hukum keamanan visa itu sangat ketat karena tempat transit multi bisnis di sana. Salah kalau masyarakat irisan-irisan yang mempersoalkan Abdul Somad ini kan ada di barisan oposisi. Yang diserang bukan hanya Singapura, tapi pemerintah sendiri dianggap ga becus melindungi warga negaranya,” tuturnya. [rif]