PAMERAN lukisan bertajuk Sangkakala dibuka kemarin 25 September. Berlangsung hingga 9 Oktober. Hadir di Tan Artspace: Tubagus P Svarajati, Tan Markaban, Aryo Sunaryo Arti, Beno Siang Pamungkas dan banyak lagi. 2 Oktober akan ada diskusi senirupa dengan tema Urgensi Maping Art Semarang.
Pameran empat sekawan itu memajang karya-karya Soleh Ibnu, Rudy Vouller, Djoko Susilo, Ari Kinjeng. Dalam dialog Tan Markaban berungkap, merasa tidak sendirian dengan hadirnya karya empat sekawan. Artinya, ada ‘kekawanan’ dengan proses kreatifnya, dalam karya yang telah beranjak dari genre konvensional ke gaya masakini.
Walau, dalam omong-omong berdua sambil melihati karya empat sekawan, menurut Tan: mereka baru memulai, dan masih butuh waktu panjang untuk sampai pada kesejatian diri. Bagaimana mereka pada gilirannya menemukan karakter diri yang tidak lagi dibatasi persoalan tehnik garis dan warna.
Terlebih, bagaimana menyikapi lukisan tidak lagi sebagai barang pajangan, tambah Tan. Tubagus, dalam obrolan sembari ngopi, menyetarakan seni lukis dan seni foto sebagai visual art. Bahwa, secanggih teknologi photography tetap yang menentukan adalah manusianya di belakang lensa. Ada keilmuan dan pengalaman hidup, yang begitu ‘klik’, akan menentukan hasil karya.
Jadi, garis dan warna dalam lukisan, yang menentukan adalah si perupa kala menghadapi kanvas. Bagaimana keilmuan, pengalaman, dan seluruh pertaruhan hidup akan tergores sebagai karya seni lukis.
Bapak seni lukis realis modern Indonesia, S Soedjojono, menyebutnya sebagai ‘jiwo katon’. Jiwa yang menampak melalui bahasa garis dan warna. Tubagus dalam menanggapi karya empat sekawan ini mengatakan: akan ada main-main menuju kebenaran yang sejati.
Dalam pemikiran itu, Jean Paul Sartre pernah mengungkap tentang teori estetika: beauty is truth, truth is beauty: keindahan adalah kebenaran, kebenaran adalah keindahan. Bagaimana untuk mengurai kebenaran dalam seni itu.
Kembali ke Tan, dia menandaskan bahwa kebenaran itu ya kejujuran diri si seniman. Bagaimana dia menggali kejujuran diri, bukan sekadar mendaki popularitas dan semata materi. Atau dengan bahasa lugas Tan, ora urusan. Tidak peduli dengan segala macam teori, sudah melewati tetek bengek tehnik, dan pada gilirannya diri si seniman adalah pusat kendali keindahan sebagai kebenaran itu.
Tan juga mencontohkan karya perupa luar negeri yang bahkan karyanya terkesan seperti lukisan kanak-kanak. Bebas, merdeka. Hingga Tan menyimpulkan bahkan: lukisan kanak-kanak sekarang luar biasa, dan merekalah nanti yang bisa mengapresiasi karya empat sekawan sebagai contoh.
Persoalannya, dalam kehidupan modern seperti sekarang, keindahan tidak lagi menjadi kebenaran, tapi keindahan telah berubah menjadi kemewahan. Dunia seni dan sastra kita tampaknya pun terpengaruh oleh keindahan yang disalahpahami sebagai kemewahan.
Betapa di sektor kehidupan apa pun, alangkah langkanya keindahan sebagai kejujuran itu.***