Scroll untuk baca artikel
Blog

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

“Dari surga..?” tanyamu.

“Bukankah surga adalah taman.”

“Eden, Firdaus, ya..tapi surga..?”

“Bukankah sorga menunjukkan tempat, juga taman.”

“Baiklah,” mafummu, “lalu..?”

“Lalu taman kemudian yang disebut alun-alun, kehidupan pun dibangun menjadi kota.”

“Kota pun ada taman, ada hutan…”

“Tapi lihatlah, bukankah kini kota tidak dibangun dari taman, tapi dari pasar?”

“Aku tidak suka pasar rakyat…”

“Ya, benar itu, kota dibangun dari supermarket, plaza, mall…”

“Kan bagus..?”

“Taman adalah tempat pertemuan bagi manusia, sayangku, dan pasar hanyalah tempat jual-beli. Lihatlah, kota hanya menjadi tempat jual-beli, tidak ada lagi pertemuan manusia dengan manusia.”

Ah, dengan parfum yang menyebar bercampur aroma mewangi apel, kau terus bertanya. Dan pandang wajahmu, tatap matamu…..

Aku simpan tatapanmu yang ke dalam

Dan batas antara pikir dan rasa

Mungkinkah ini pertemuan yang dulu…

AKU cukup berdiri di tepi taman ini, di bawah pohon apel yang rerimbunnya menjuntai ke tengah jalan. Dan kau akan begitu saja muncul, menyeberang jalan meraih-raihkan tangan ke juntaian buah-buah apel itu.

Melenggang sambil menggosokkan apel ke bagian dada oblong cekakmu, menggandeng tanganku ke bangku taman. Setiap seperti itu aku merasa kau seperti ada di jari tangan, kemudian di lenganku, lalu di bahu, dan kini aku merasa kau ada di dadaku.

Seperti ada ngilu pada tulang rusukku, setiap kita berkisah tentang diri kita yang begitu saja bertemu tanpa rencana. Tanpa bayangan sebelumnya bahwa kau yang datang untukku, bukan  ular dari bangsaku. Pun kau pernah katakan itu, kenapa mesti seekor aku yang hadir untukmu.

Selalu ada bisikan semacam gumam dari balik tulang rusukku, bahwa nasib terburuk manusia ialah karena harus bergaul dengan manusia lain. Meski aku tak pernah menyesali keberadaanku sebagai laki-laki pilihan, yang tidak hanya harus bergaul dengan para ular tapi juga menanggungjawabi mereka.

Melakukan segala hal yang semestinya bukan urusanku, karena mereka memang seperti binatang melata. Bahkan kalau perlu aku mesti menyuapi mereka, atau mengunyahkan dimulutku sehingga tinggal menelan saja.

Kalau sudah kenyang mereka akan tidur berhari-hari, karena itu memang hidup mereka, selebihnya beranak-pinak. Anak-anak mereka bahkan melata di jalanan, dibiarkan tanpa perlindungan dan pengajaran yang selazimnya.

Dan dalam kemelataan seperi ini, kau tetap menyebarkan parfummu dengan maksud untuk menghilangkan kepedihan hatimu. Karena kau merasa terasing justru di rumah sendiri, di kota yang terus membangun kota.