Scroll untuk baca artikel
Blog

Parpol Dianggap Gagal Jembatani Masyarakat dengan Negara

Redaksi
×

Parpol Dianggap Gagal Jembatani Masyarakat dengan Negara

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Salah satu yang ikut menentukan baik buruknya demokrasi suatu negara adalah partai politik. Masalahnya, di Indonesia, tingkat kepercayaaan publik terhadap parpol semakin rendah. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dalam diskusi yang diselenggarakan LP3ES, Kamis (8/4).

“Hubungan parpol dengan masyarakat cukup jauh dan lemah. Tingkat identifikasi parpol di masyarakat yang hanya 10-15%. Hampir 92% lebih masyarakat tidak merasa punya keterikatan dengan parpol. Hanya sekitar 12 % saja masyarakat yang merasa terikat.” Kata Djayadi Hanan.

Padahal, parpol adalah pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan rakyat ke tingkat legislasi dan kebijakan publik. Hanya parpol yang mampu membawa kepentingan itu berubah menjadi undang-undang, peraturan-peraturan yang mengikat, atau program lain yang ujung-ujungnya untuk rakyat juga.

Menurut Djayadi Hanan, partai gagal menjalankan peranannya sebagai jembatan antara masyarakat dan negara, dan itu bukan tanpa alasan.

“Parpol kurang mampu menarik masyarakat untuk mengidentifikasi dirinya dengan partai-partai politik. Dalam hal ideologi partai tentang ekonomi, misalnya, parpol di Indonesia tidak punya perbedaan secara ideologis dalam konteks ekonomi. Begitu pula tentang investasi ataupun distribusi kekayaan,” katanya.

Hal itu membuat masyarakat sulit mengidentifikasi dirinya dengan partai tertentu. Meski begitu, untuk isu keagamaan dan nasionalisme, terbaca adanya hubungan yang lebih kuat dengan melihat eksisnya suara untuk partai religi dan non-religi.

“Lebih mudah mengidentifikasi dari sisi keterliatan emosional seperti isu agama dibanding isu ekonomi.” Ujar Djayadi Hanan.

Tapi secara umum, kata Djayadi, hubungan partai politik dengan masyarakat semakin terlupakan dan demokrasi menjadi bertambah buruk.

“Praktik demokrasi semakin jelek dalam setahun terakhir. Tingkat kepuasan negatif makin meningkat, sementara kepuasan positif makin menurun. Hal itu akibat problem dan praktik politik dalam negeri selama ini.” Kata Djayadi Hanan.

Lebih lanjut, selain hubungan parpol dan masyarakat yang melemah, parpol juga menghadapi masalah oligarki partai. Sekurang-kurangnya, kecenderungan itu terjadi dalam tubuh empat partai besar, yakni Gerindra, PDIP, Demokrat, Nasdem.

Di sana muncul tokoh-tokoh berkuasa dan menjadi identitas yang membangun citra partai. Masalahnya, insitutionalisasi berbasis ketokohan dan bukan ideologi itu, baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Ketika parpol kehilangan tokoh, maka parpol akan menjadi bermasalah.

Selain itu, menurut Djayadi, parpol juga masih menghadapi persoalan transparansi. “Parpol di Indonesia beroperasi seperti black box. Serba misteri dan masyarakat seperti dipaksa untuk tinggal menerima saja,” katanya.

Oleh karena itu Djayadi melihat pentingnya perubahan besar dari partai-partai politik. Menurutnya, reformasi parpol adalah keharusan kecuali negara tidak lagi memilih sistem demokrasi. Parpol harus diperkuat baik itu sisi kelembagaannya, finansialnya, atau hal lainnya yang sekiranya dapat membuat demokrasi lebih baik. “Demokrasi workable jika ada parpol, demokrasi tidak bisa bekerja tanpa partai. Namun, menguatkan partai sering disalah-pahami sebagai dapat menguasai semuanya, tanpa bisa diawasi oleh kekuatan yang lain. Memperkuat parpol adalah membuat partai menjadi sehat sesuai kaidah-kaidah parpol dalam demokrasi.” Katanya. [Dmr]