Scroll untuk baca artikel
Terkini

Pasca Tahun 1966 Sudah Tidak Ada Lagi Seni yang Melawan

Redaksi
×

Pasca Tahun 1966 Sudah Tidak Ada Lagi Seni yang Melawan

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Memasuk wilayah Kp. Tanggungrejo terdengar musik dangdut dan tratak memanjang. Mobil tidak akan bisa melewati jalan kampung, karena jalan digunakan untuk perhelatan pernikahan. Di kawasan inilah markas Komunitas Kaligawe (KoWe) hadir dengan suasana kerakyatan.

Komunitas Kaligawe memiliki program virtual di masa Pandemi Covid-19 yakni program Sapa Kowe. Edisi perdana dilaksanakan di ruang tamu, tempat dimana biasanya awak KoWe kumpul. Oleh sebab ada suara musik yang lebih keras, tentu program Sapa Kowe yang dilakukan secara live streaming ini pindah tempat. Namun masih di markas KoWe.

Nampak kain merah putih terpajang dengan posisi miring di bambu ukuran 3 meter. Sapa Kowe pada edisi kedua mengangkat tema “Ngobrol Seni dan Budaya di Bulan Merdeka.” Bertepatan pada bulan agustus, HUT Ke-75 RI, Sabtu (15/8/2020) malam.

Acara Sapa Kowe dibuka pembacaan puisi Chotrex Tri Budiyanto yang membacakan karya puisi Widji Thukul diringi petikan gitar. Lalu salam Sapa Kowe dilambaikan pemandu acara Sergio Bebas Gio. Sergio mengatakan bahwa seni dan perlawanan tidak dapat dipisahkan.

Penyair asal Kendal Kelana Siwi mengatakan seni dan perlawanan adalah hal berbeda. Namun seni itu sendiri itu perlawanan. Artinya ketika muncul merupakan keresahan baik itu keresahan individu, sosial, maupun persoalan kemasyarakatan.

Lain lagi dengan pernyataan Hermawan bahwa seni itu universal. Seni juga dibuat alat untuk perlawanan. Perlawanan itu tidak harus melalui sistem. Namun melalui karya seni bisa menjadi kritik sosial.

Sementara itu Presiden KoWe Teha Edy Djohar mengatakan seniman harus memiliki moralitas. Ia memiliki tanggungjawab pada lingkungan, bangsa, dan negara.

“Apakah kita cukup mensuarakan dengan puisi,” tanya Teha.

Teha melanjutkan jika kita tidak bersikap dan bersuara seniman menjadi penghianat perlawanan. Bahkan ia menjadi  bagian dari kejahatan itu sendiri.

Kelana Siwi menyanggah pernyataan Teha Edy Djohar dengan ucapan salam merdeka, salam budaya kerakyatan, dan hancurkan budaya palsu. Disambung penyampaian penyair mbohlah Slamet Unggul bahwa seni dan perlawanan memang berbeda. Namun demikian perlawanan tanpa adanya seni maka akan brutal.

“Pasca tahun 1966, sudah tidak ada lagi seni yang melawan. Pernah tahun 1998 lahir lembaga kebudayaan kerakyatan yang mengusung seni untuk perlawanan, kemudian disambung jaringan kerja kebudayaan dan ada lagi Sebumi itupun karena korona takut mengelar konggresnya,” ujar Kelana.

Sementara itu, Lusiana Maulid Ndalu menyatakan seni itu memang keindahan. Akan tetapi jika dimaknai hanya keindahan maka hanya bermakna dangkal.

Penulis: Lukni

Video selengkapnya: