Peluncuran buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah menyoroti peningkatan utang negara dan tantangan fiskal yang dihadapi pemerintah.
BARISAN.CO – Buku Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah (dari Revolusi Hingga Pandemi) resmi diluncurkan di Beranda Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Sabtu (15/02/2025).
Peluncuran buku ini menarik perhatian berbagai kalangan, terutama ekonom dan pengamat kebijakan fiskal.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, yang menjadi salah satu narasumber dalam acara ini, menyebut buku tersebut sebagai sumber informasi yang tervalidasi dan kaya analisis.
“Buku ini sangat bagus, disertai dengan analisis mendalam serta pesan yang jelas. Ini adalah hasil ketekunan dan kecermatan luar biasa,” ujarnya.
Salah satu bagian yang menjadi sorotan utama dalam diskusi adalah bab IX dan X yang membahas utang pemerintah.
Awalil Rizky menyoroti bahwa dalam jangka panjang, kebijakan defisit tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap konsumsi masyarakat maupun pertumbuhan ekonomi secara agregat.
“Dalam jangka pendek pun dampaknya terbatas. Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berbasis defisit mungkin bukan alat yang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Dari data yang dipaparkan, tambahan utang pemerintah era 2014-2024 mencapai Rp6.192 triliun, hampir lima kali lipat dari tambahan utang 2004-2014 yang sebesar Rp1.309 triliun.
Selain itu, rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) telah mencapai batas yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 60 persen.
“Lebih mengkhawatirkan lagi, rasio utang terhadap pendapatan negara mencapai 309,62 persen, jauh melampaui rekomendasi IMF yang hanya 90-150 persen. Ini mencerminkan tekanan yang besar terhadap keuangan negara,” tambah Awalil.
Selain jumlah utang yang meningkat drastis, beban bunga utang juga menjadi tantangan besar. Pembayaran bunga utang dalam APBN 2025 diprediksi terus meningkat, melanjutkan tren di era pemerintahan saat ini.
“Beban bunga dan pokok utang kini jauh melampaui rekomendasi IMF yang berkisar 7-10 persen dari pendapatan negara,” ungkapnya.
Menurut Awalil, risiko likuiditas menjadi isu lain yang perlu diwaspadai.
“Pemerintah mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Meskipun dalam jangka panjang kondisi keuangan relatif terkendali, tekanan terhadap APBN dari sisi pembayaran utang semakin berat.”
Sebagai solusi atas tantangan fiskal yang dihadapi, Awalil Rizky menegaskan perlunya revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Menurutnya, regulasi yang lebih fleksibel akan memungkinkan pemerintah mengelola kebijakan fiskal dengan lebih adaptif tanpa terlalu bergantung pada utang.
“Untuk keluar dari ketergantungan terhadap utang, pemerintah harus lebih fleksibel dalam kebijakan fiskalnya. Ini hanya bisa dilakukan jika ada revisi UU Keuangan Negara,” tegasnya.