Scroll untuk baca artikel
Blog

Pembunuhan Berencana

Redaksi
×

Pembunuhan Berencana

Sebarkan artikel ini

BARU saja Kapolri mengumumkan hasil timsus dalam mengungkap kasus terbunuhnya Briptu J. Itulah detik-detik publik sudah bisa menebak, pasti akan diumumkan tersangka baru setaraf perwira. Tidak mungkin setingkat Kapolri mengumumkan tersangka berpangkat barada.

Menit-menit sebelumnya, pengamat hukum sudah memberi isyarat tentang pengakuan Barada RE sebagai justice coraborator, melalui penasehat hukumnya. Bahwa, ia diperintahkan oleh atasannya untuk menembak J. Ada enam orang dalam kejadian itu. FS, RE, RT, KR, PC dan J sebagai korban. Maka sudah bisa ditebak pula, siapa yang memberi perintah, kalau bukan FS.

Lebih kronologis, setelah RE melakukan lima kali penembakan terhadap J, FS kemudian berkali menghamburkan tembakan ke dinding, menggunakan pistol J. Untuk apa. Itu guna alibi, sebagai skenario yang pertama diumumkan, dan kemudian jadi berbalik kongkrit. Bukan peristiwa baku tembak antara RE dan J, melainkan penembakan. Jadi jelas ini peristiwa pembunuhan, dengan pasal pembunuhan berencana dan berkelompok.

Duapuluh lima personil yang terlibat meningkat menjadi empatpuluh personil kepolisian dalam penyidikan. Kasus pun jadi terbuka gamblang. Dan itu sebenarnya sudah bisa dibaca oleh masyarakat, terutama oleh para ahli hukum. Kapolri pun menambahkan, mengenai motif akan didalami lebih lanjut.

Sekaligus Kapolri memberi alasan, mengapa penyidikan jadi memakan waktu lama. Ialah karena rusak atau dihilangkannya cctv, dan itu dilakukan oleh FS. Pertanyaannya, bagaimana kalau kejadian ini berlangsung kala teknologi cctv belum ditemukan. Bukankan seperti dikatakan Susno Duadji: TKP jelas, korban jelas, pelaku jelas, saksi-saksi jelas. Bukankah ini kasus biasa dan simpel.

Menkohukam bahkan mengatakan hal yang berbalik bahwa, ini bukan peristiwa biasa, untuk mengatakan kasus luar biasa. Sehingga penyelidikan dan penyidikannya jadi berlarut. Penandasan Susno jadi kontravita: kalau bukan polisi satu hari saja sudah selesai ini kasus. Satu negasi betapa: hukum masih tumpul ke atas dan runcing ke bawah.

Kembali ke ihwal motif, ahli hukum Kang Asep mengatakan, motif tidak penting kalau kronologinya sudah terungkap. Ya, tapi bukankah masyarakat perlu tahu motif atas kejadian meneror pikiran dan jiwa rakyat selama satu bulan.

Bagi saya, motif itulah tugas sastrawan untuk mengungkapnya. Pertanyaannya, adakah sastrawan yang mampu mengungkap kenyataan dalam kehidupan. Adakah sastrawan yang tidak hanya sibuk dengan estetika?***