Oleh: Yusdi Usman, Dr. Cand.
Kegelisahan sejumlah anak muda itu mulai memuncak. Polarisasi politik setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 semakin menguat. Polarisasi berbasis ideologi itu tidak bisa dielakkan. Meskipun polarisasi cukup tajam berbasis ideologis, para tokoh bangsa dari berbagai latar ideologis masih bisa membangun kerjasama dalam merawat “bayi Indonesia” yang baru lahir itu.
Terdapat empat kelompok ideologis dominan pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, yakni nasionalisme, Islam, komunisme dan sosialisme. Ideologi nasionalisme diwakili oleh tokoh-tokoh bangsa seperti Sukarno, Hatta, dan lain-lain, serta Partai Nasional Indonesia (PNI) yang lahir tahun 1928. Kelompok yang mewakili ideologi Islam adalah Masyumi (berdiri tahun 1943) yang merupakan federasi dari empat organisasi Islam, yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Ideologi sosialisme diperankan oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI), dengan tokoh utama Sutan Syahrir yang menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia, sejak 14 November 1945 (Kabinet Syahrir I), sampai 3 Juli 1947 (Syahrir III). Sedangkan ideologi komunisme diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berbagai organisasi underbow yang berafiliasi pada komunisme.
Pada awal kemerdekaan ini, tokoh komunisme tidak begitu menonjol kecuali Amir Syarifuddin, yang sebenarnya tokoh sosialis yang lebih condong kepada komunisme. Ia kemudian menjadi Perdana Menteri kedua menggantikan Sutan Syahrir, dengan membentuk Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947) dan berakhir dengan Kabinet Amir Syarifuddin II (29 Januari 1948).
Polarisasi politik pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia itu menimbulkan kegelisahan di sejumlah kalangan pemuda. Mereka khawatir pengaruh komunisme yang mendompleng sosialisme semakin menguat karena tokoh-tokoh mereka memegang tampuk kekuasaan Indonesia.
Adalah Lafran Pane, satu diantara para pemuda yang sedang gelisah itu. Ia memikirkan perlunya ada kekuatan penyeimbang di kalangan pemuda Islam. Lalu, bersama sejumlah temannya, didirikankan sebuah organisasi mahasiswa yang diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pada tanggal 5 Pebruari 1947 di Jogjakarta.
Tulisan ini mencoba menampilkan interpretasi penulis atas pemikiran yang berkembang di HMI selama penulis menjadi aktivis organisasi ini pada tahun 1990-an, baik dari sisi pemikiran keislaman maupun keindonesiaan. Tujuan tulisan singkat ini adalah untuk memberi perspektif kepada masyarakat tentang bagaimana pemikiran HMI tentang keislaman dan keindonesiaan yang berkembang dalam organisasi ini, khususnya menurut pemahaman penulis.
Pengalaman Ber-HMI
Pengalaman saya dalam HMI, dimulai pada tahun 1995 setelah saya masuk UGM. Saya mengikuti Latihan Kader I pada sekitar bulan September 1995 yang dilaksanakan oleh HMI Komisariat Kehutanan UGM. Saat itu, suasana politik Orde Baru masih sangat dominan, meskipun Soeharto sudah mulai “bersahabat” dengan kekuatan Islam setelah berdirinya ICMI pada tahun 1990. Namun, secara keseluruhan, pola-pola otoriterianisme dan represifitas dalam kebebasan berpendapat dan berserikat, tidak berubah.
Awalnya, ketertarikan saya bergabung dengan HMI lebih banyak dipengaruhi oleh pencarian saya untuk berorganisasi dan memperkuat jejaring pertemanan di Jogjakarta. Namun, setelah masuk ke dalam organisasi ini, ekspektasi saya melebihi sekedar memperkuat jejaring, saya justru mendapatkan banyak hal dalam pengembangan intelektualitas saya di kemudian hari.
Diskusi tentang post ini