Scroll untuk baca artikel
Blog

Pencalonan Gibran: Jebakan Anasir Milenial

Redaksi
×

Pencalonan Gibran: Jebakan Anasir Milenial

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Seperti pilkada yang sudah-sudah, Pilkada 2020 juga diramaikan nama anak keluarga pejabat. Sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, maju Cawalkot Pilkada Solo berpasangan Teguh Prakosa. Langkah Gibran-Teguh memimpin Solo diprediksi hampir mulus.

Pada mulanya, Gibran menyatakan tidak tertarik politik dan memilih jualan martabak saja. Tapi sekarang, dia rajin blusukan ke kampung menyerap aspirasi politik masyarakat. Perubahan sikap Gibran ini menjadi awal kenapa ia disorot.

“Kalau saya jadi pengusaha,” kata Gibran, “Saya sentuh hanya karyawan saya saja. Tetapi kalau saya masuk ke politik, yang bisa saya sentuh kalau di Solo ya 500 ribuan orang yang bisa saya sentuh melalui kebijakan-kebijakan saya,” ujarnya dalam diskusi virtual bertajuk ‘Anak Muda Berpolitik, Siapa Takut’, Jumat (24/7/2020).

Dalam kesempatan yang sama, PDIP lewat Sekjen Hasto Kristiyanto ikut bersuara. Sebagai pengusung utama, PDIP menyebut pencalonan Gibran sebagai respons aspirasi yang berkembang dari kaum muda dan media massa.

“Bersama kaum muda Indonesia, PDIP akan menghadirkan politik dengan cara kreatif, penuh optimistis, dan menampilkan sense of happiness, namun tetap berakar pada kebudayaan nasional.” Kata Hasto.

Terjebak Budaya Pop

Belakangan, munculnya anak muda di panggung politik memang membawa optimisme yang khas. Budayawan asal Solo Darmawan Budi Suseno menyatakan, secara umum energi anak muda memang sangat dibutuhkan untuk kemajuan sebuah bangsa. Terlebih karena energi anak muda sifatnya menular.

Namun menurut Darmo, sapaan akrabnya, menularnya energi milenial belum sampai menyentuh semangat sosiologis. Melainkan baru sebatas ekspresi psikologis. Sehingga, sejauh ini yang terjadi hanyalah kecenderungan orang secara psikologis ingin ‘tampak muda’: ingin menyerupai milenial.

“Di Youtube misalnya, semua orang ingin menjadi layaknya milenial. Cara ngomongnya sudah sama semua, cara bergayanya sudah sama semua,” ujar Darmo dalam acara Mimbar Virtual barisan.co bertema Dinasti Politik, Selasa (20/07/2020).

Bisa dikatakan, ekspresi psikologis milenial itu bahkan telah menjadi budaya pop di hampir semua bidang. Dan dalam konteks pencalonan Gibran, tampak bahwa ada upaya untuk membawa masuk budaya pop “a la milenial” ke dalam politik. Hal itu dapat dilihat dari materi-materi kampanye Gibran yang menonjolkan sisi kepemudaannya.

Bila menimbang proporsi milenial di Indonesia, tak berlebihan disebut bahwa siapapun yang mampu menyesuaikan dengan selera milenial, berpeluang besar menang pemilu. Sebagai catatan, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut, 90 juta atau lebih 1/3 jumlah penduduk Indonesia merupakan milenial.

Menurut Darmo, inilah puncak dari payahnya politik yang terjebak budaya pop. Yakni ketika politik sibuk menyesuaikan diri dengan tren, tapi melupakan kompleksitas proses kebudayaan demi hasil politik yang berkualitas.

“Budaya pop ini membuat orang sibuk saling menduplikasi, ikut-ikutan tren, mengejar rating, memperbanyak follower. Padahal semestinya budaya bukan sebatas pop. Dalam pengertian klasik, budaya ialah proses mencapai kualitas yang adiluhung; bagaimana membuat peradaban menjadi lebih bagus, bagaimana agar kehidupan berproses menjadi harmonis, dan semacam itu.” Kata Darmo.

Pada akhirnya, kecenderungan budaya pop membuat milenial tampak sebagai objek politik semata. Tentu hal ini memerlukan telaah detail. Apalagi, jumlah milenial terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila situasi ini tidak segera mendapat momentum titik balik, milenial hanya akan menjadi penghuni sisi gelap politik dalam waktu yang lama.