Menurut Darmo, inilah puncak dari payahnya politik yang terjebak budaya pop. Yakni ketika politik sibuk menyesuaikan diri dengan tren, tapi melupakan kompleksitas proses kebudayaan demi hasil politik yang berkualitas.
“Budaya pop ini membuat orang sibuk saling menduplikasi, ikut-ikutan tren, mengejar rating, memperbanyak follower. Padahal semestinya budaya bukan sebatas pop. Dalam pengertian klasik, budaya ialah proses mencapai kualitas yang adiluhung; bagaimana membuat peradaban menjadi lebih bagus, bagaimana agar kehidupan berproses menjadi harmonis, dan semacam itu.” Kata Darmo.
Pada akhirnya, kecenderungan budaya pop membuat milenial tampak sebagai objek politik semata. Tentu hal ini memerlukan telaah detail. Apalagi, jumlah milenial terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila situasi ini tidak segera mendapat momentum titik balik, milenial hanya akan menjadi penghuni sisi gelap politik dalam waktu yang lama.
Penulis: Anatasia Wahyudi, Putri Nur Wijayanti
Editor: Ananta Damarjati