Seperti Apa Seharusnya Tanggung Jawab Sosial dalam Profesi Pengajar? Ini bervariasi dari pendidik ke pendidik, sehingga jawaban atas pertanyaan ini mungkin beragam.
BARISAN.CO – Pada awal Desember 2012, terjadi sebuah kejadian yang tragis di salah satu stasiun kereta bawah tanah Manhattan, New York Amerika Serikat. Seorang laki-laki Asia bernama Ki Suk Han (58 tahun) tewas tersambar kereta commuter setelah didorong oleh seseorang hingga terjatuh di lintasan kereta, pelaku belakangan diketahui seorang gelandangan bernama Naeem Davis. Sebelumnya, ia dan orang asing itu memang terlihat cekcok.
Yang mengecewakan adalah, tak ada satu pun orang yang tergerak menolong Ki Suk Han sebelum tertabrak, padahal beberapa orang menyaksikan kejadian itu, salah satunya fotografer lepas New York Post yang malah sibuk mengabadikan momen mengerikan tersebut.
Bahkan, gambar saat Ki Suk Han berusaha menyelamatkan diri dipajang di halaman depan New York Post keesokan harinya. Foto bertuliskan pushed on the subway track, this man is about to die itu pun langsung menuai kemarahan publik dan kritikan di media sosial.
Di dalam sebuah angkutan umum, seorang pria muda menodongkan pisaunya ke depan seorang wanita paruh baya dan memaksanya menyerahkan dompet serta gelang yang dikenakannya kepada penodong tersebut.
Penumpang lain yang duduk bersebelahan dengan Ibu tersebut, hanya memandang diam dan tidak bereaksi apapun, juga dua orang laki-laki yang duduk di bangku depan mobil hanya melihat di kaca spion, tanpa reaksi apapun untuk menghentikan aksi kejahatan tersebut.
Kejadian seperti di atas sering kita jumpai, dan seakan menjadi lumrah. Orang sukar atau enggan untuk peduli terhadap kejadian di sekitarnya. Baik yang berkenaan dengan krisis moral, kejahatan sosial, hingga kerusakan lingkungan.
Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, namun karena diamnya orang-orang baik (atas kejahatan)
Ali bin Abi Thalib.
Sikap demikian dapat disebut sebagai ‘apatis’. Apatis merupakan suatu keadaan yang menimpa individu dengan ciri ketumpulan moral dan seakan-akan tidak peka terhadap rasa sakit yang dideritanya sehingga mengakibatkan penderitanya malas untuk berpikir dan bergerak untuk melakukan sesuatu
Seseorang dapat dikatakan apatis jika mereka menunjukkan kurangnya perasaan minat dan perhatian khusus tentang situasi tertentu, atau kehidupan secara umum.
Dalam dunia psikologi, sikap apatis terbagi menjadi dua tipe; yang pertama ialah sikap saat seseorang melihat tindak kejahatan namun tidak melakukan apapun untuk membantu korban. Sikap itu disebut dengan bystander apathy.
Kedua, apabila seseorang tidak memiliki ketertarikan untuk melakukan aktivitas sosial, seperti berinteraksi dengan orang lain, kondisi itu disebut sebagai social apathy.
Era media sosial saat ini banyak memberikan kontribusi menguatnya sikap apatis. Di antara indikasinya adalah, para individu cenderung menjadi pengamat kejadian, kemudian menyebarkan kejadian secara massif melalui media sosial, ketimbang ikut andil menyelesaikan permasalahan secara langsung atau tidak langsung.
Beberapa ahli menghipotesiskan bahwa sikap apatis bystander itu mungkin muncul dari konflik internal yang dialami seseorang ketika dihadapkan pada keadaan darurat. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa apatis bystander tidak selalu menyiratkan kekurangan moral dalam pengamat pasif; sebaliknya, mereka berpendapat bahwa nonintervensi dapat diharapkan ketika situasi di sekitar keadaan darurat mendukung nonintervensi ( Darley & Latané, 1968 ).[1]
Membangun sikap kepedulian bukan sesuatu yang dapat terwujud secara spontan. Ada beberapa kasus mungkin muncul sikap kepedulian terhadap sesuatu bilamana orang-orang yang peduli tersebut mempunyai keterkaitan secara langsung, dan mendapatkan manfaat atau dampak bagus atas kepedulian yang mereka tunjukkan.
Jadi sebenarnya menurut saya, butuh pembiasaan dan penguatan kultur sikap peduli dalam berbagai elemen masyarakat, dalam berbagai institusi yang ada, mulai dari dalam rumah, lingkungan sekitar, bahkan yang teramat penting adalah di lembaga sekolah.
Menuju Warga Negara yang Berpengetahuan, Peduli Lingkungan Sosial
Tantangan yang dihadapi para insan pendidikan saat ini sangat mempengaruhi keberhasilan upaya pendidik terbaik sekalipun untuk menciptakan dan menumbuhkan semangat siswa untuk belajar dan untuk berkontribusi pada masyarakat yang akan mereka bentuk suatu hari nanti. Namun, pendidik harus tetap berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawab sosial mereka sekarang lebih dari sebelumnya.
Seperti Apa Seharusnya Tanggung Jawab Sosial dalam Profesi Pengajar? Ini bervariasi dari pendidik ke pendidik, sehingga jawaban atas pertanyaan ini mungkin beragam.
Pendidikan adalah tentang membuka pikiran, menciptakan pengetahuan baru. Ini adalah upaya yang ekspansif. Secara teori, pendidikan seharusnya membekali kita dengan pemahaman dan kapasitas tentang apa artinya menjadi warga negara bangsa ini dan dunia.
Pendiri bangsa kita memahami pentingnya warga negara yang berpendidikan. Bagi saya, saa ini bangsa Indonesia membutuhkan pendidik untuk mendukung pengembangan akademik siswa, karakter, dan pengembangan kewarga negaraan (citizenship).
Guru hari ini menghadapi rintangan yang unik. Dari masalah terkait ras, tantangan sosial-ekonomi, hingga perbedaan latar belakang bahasa dan budaya, semua variabel siswa ini menghadirkan uji coba yang jelas bagi guru dan pendidik di setiap tingkatan.
Oleh karena itu akan muncul pertenyaan berikutnya; “Bagaimana kita bisa berhasil mengajar dan menjangkau semua siswa, dari semua latar belakang, sambil memupuk keinginan untuk meningkatkan tanggung jawab dan kesadaran sosial di dalam diri mereka?” [Luk]
[1] Bystander Apathy and Intervention in the Era of Social Media, Publication date: 4 June 2021, https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/